Jumat, 07 Mei 2010

yang takkan terganti

Hai,

Apa kabar? Lama tak sua. Jangan dulu bertanya. Biar kuprediksi sendiri kemungkinan laku yang akan kau buat. Pertama, kau pasti bertanya, siapa aku? Sebuah pertanyaan bodoh yang sebenarnya tak perlu jawaban, karena hanya dengan melihat namaku saja kau sudah merasa mulas dan tak enak badan. Begitu bukan? Aku tertawa sendiri membayangkannya. Banyak hal bisa terjadi dalam hidup ini, termasuk merusak kebahagiaan. Tapi, tenang saja. Aku menulis ini bukan untuk mengusikmu, tapi untuk berbaikan denganmu. Setidaknya dengan begitu, aku bisa lebih berbaikan dengan diriku sendiri, mengeluarkan lahar panas tanpa harus meledak, dan menghempaskan ombak menuju pantai lalu secepatnya menyamudra lagi.

Kedua, kau pasti langsung bertanya, ada apa? Sinyal di dalam kepalamu sudah mulai menyatakan siaga satu. Sekali lagi, tenang saja. Kita akan jalani ini secara pelan-pelan. Kita nikmati dalam-dalam meski itu dalam diam. Seperti menghirup aroma moccacino dan merasakan sensasinya senyap di ujung lidah. Bukankah kejernihan akan terasa menyegarkan dibanding keruwetan dalam keramaian?

Untuk membaca tulisan ini, aku ucapkan terima kasih. Setidaknya, kau telah bersikap ksatria dan dewasa. Tak langsung men-delete-nya atau tak berhasrat ingin membacanya sama sekali. Aku hanya sedang ingin berbagi pikir denganmu, sedikit bercerita sebelum kau akhirnya harus secara nyata mengalahkan aku dan membuat duniamu sendiri tanpa harus ada pengganggu lagi.

Baiklah, mari kita tak usah berbasa-basi lagi. Kuawali semuanya dengan sebuah tanya. Pernahkah kau merasakan hidup di dunia bayang-bayang?

Jangan tertawa. Dunia ini adalah dunia antara dimana realitas dan imajinasi bergandengan dengan sangat sempurna. Tak perlu harus memetakan putih dan hitam, karena banyak warna tak terduga yang bisa kita jumpa. Jika kau tak keberatan, izinkan aku mendongengkan ini dulu padamu. Semoga waktumu cukup untuk itu.

Ada seorang anak yang hidup di dunia bayang-bayang, dimana cahaya enggan sekali membagi sinarnya dan kerdipnya hanya lebih terang dari lilin yang terpasang di malam yang gelap dan dingin. Setiap saat, dia selalu bermohon dan mengharapkan keajaiban, bahwa langitnya nanti akan indah dan tak lagi gulita. Ia telah memasang seribu permohonan di dinding kamarnya yang lembab dan beku, tapi belum satu orang peri pun yang mau mengabulkannya. Ia belum cukup sempurna untuk tiba di dunia cahaya, kata mereka. Maka ia pun menikmati dunianya dalam bayang-bayang, dimana segala sesuatu hanya bisa ia lihat bayang-bayangnya, atau siluet yang tak pernah cukup jelas untuk digenggam atau dibawa ke dalam impian.

Ia menerima dengan sebuah keyakinan ia akan segera melihat cahaya.

Lantas, suatu ketika, ketika ia telah dirasa matang untuk mendapatkan cahaya, maka tabir itu mulai terbuka. Ia gembira karena yang dilihatnya tak melulu gelap dan bayangan saja. Ia menikmati cahaya memandikan tubuhnya, ia merasakan betapa hangatnya cahaya bersahabat dengannya, dan diam-diam terpejam saat merasakan beludak bahagia itu sempurna membungkus jiwanya.

Ia pasti akan terus begitu jika sebuah suara tak mengusiknya, membuat tubuhnya yang terbaring terperanjat kaget dan matanya membuka cepat.

Ada suara.

Yang dulu tak pernah ada.

Yang dulu ia nikmati hanya dalam bayangan saja.

Yang dulu ia rindukan dan sanggup menggetarkan jiwanya meski itu hanya dalam bayang.

Ia akhirnya jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya hingga ia sadari ia takkan pernah bisa hidup lagi kerenanya. Dunia cahaya telah menjanjikan sebuah episode dimana ia harus berbagi tanpa ada pretensi. Ia menatap takjub dan secara sadar menunjukkan senyum terbaiknya. Kata orang-orang, itulah senyum terbaik yang pernah ada di dunia cahaya.

Peri yang dilihatnya pun tertawa. Dan ia memang layak untuk tertawa.

Jika kukatakan itulah waktunya untuk menghentikan cerita ini, kau pasti takkan setuju. Sungguh pun begitu, sebenarnya aku ingin sekali menutupnya sampai di sini saja. Agar kenangan itu masih tersimpan dan tumbuh tanpa harus layu dan menunduk pilu. Biarlah waktu menghentikan dirinya sendiri hingga akhir cerita akan berisi bahagia dan bukan duka hingga semua orang tak perlu menangis dan bersedih.

Tapi itu tak adil. Buatmu, tentu saja. Karena jika aku menghentikan cerita itu sampai di sini saja, maka kau takkan pernah ada.

Aku tak tahu sejak kapan kau mulai memasuki kehidupan para peri. Aku pun tak cukup mengerti saat menyadari betapa cepatnya bahagia menguap. Dariku, pasti. Karena tawa periku masih tetap terkembang indah, karena gelaknya masih memenuhi langit-langit dan membuat bunga-bunga mekar terkembang. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa senyumnya bukan lagi karena hanya ada aku di sana, tapi juga ada kau. Kau yang muncul dari sebuah titik, lalu kian memanjang dan mulai membentuk garis, hingga hadirmu melebihi batas hadirku, dan mulai ada sesuatu yang berubah pada jalan cerita di dunia cahaya.

Ada yang berubah.

Dan ia mulai kehilangan pegangan. Ia telah tak bertahan.

Maka di titik ini, aku harus bercerita padamu. Meski aku harus merendahkan egoku dan menunduk dalam seperti seorang hamba menghadap tuan.

Karena pada akhirnya saatnya telah tiba.

Kau tahu rasa pedih kehilangan sesuatu? Seperti bagian tubuhmu hilang begitu saja secara tiba-tiba dan kau tak pernah mengharapkan ini terjadi. Saat harimu tiba-tiba saja kembali terasa beku dan kelabu, monokrom, dan tak pernah ada lagi awan yang sempurna membentuk wajah. Aku tersadar bahwa aku telah sangat kehilangan. Saat menatap senja di ujung ombak yang menggelisir pelan, tak ada seseorang di sini, di sisi, di sampingku. Sepi ini terasa seperti mata pisau yang menguliti, membentuk sayatan yang tercuka dengan air garam.

Lama aku merenungkan semua. Aku tak ingin jadi perusak kebahagiaan. Aku bukan Rahwana yang sengaja menculik Shinta, tapi aku telah merasa menjadi Rama yang kasihnya tercuri jua. Biarpun begitu, aku cukup arif untuk tidak meminta Shinta membuat pilihan, karena sejuta kemungkinan tentu ada, termasuk jika bagaimana bila Shinta sebenarnya lebih menyukai Rahwana dibanding Rama. Aku pasti telah tertembak dan mati di tempat.

Aku hanya ingin katakan, dunia bayang-bayang itu telah menumbuhkan cinta paling relung di dalam napasku. Telah membuat aku bangun dan membuka mata dari gulita. Telah begitu bijak mengantarku pada keindahan tanpa kata:

dia.

Yang kini ingin kau curi dan kau rampas tanpa perlu mengetahui bagaimana rupa rasaku.

Hai,

Aku ingin marah, kau tahu? Aku tak ingin seperti pecundang dalam cerita picisan yang takkan pernah dapatkan peran terhormat. Aku benci jika mendengar ternyata akhir cerita ini adalah sebuah kebahagiaan antara kau dengannya dan kepedihan untukku. Tak bisakah cerita berubah?

Karena bahagia bukan ada pada mendapatkan, tapi pada memberi dan berbagi.

Aku telah berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik baginya. Memberikan napas agar ia tetap bertahan dan bisa tertawa lepas. Dan aku bukan orang yang bisa melanggar janji. Aku ingin membahagiakannya dan harus membuat ia bahagia. Itu adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar meski untuk itu aku harus rela. Rela berkorban dan rela terkorban.

Silahkan tertawa. Aku lega karena telah menyampaikan semua ini padamu. Meski untuk itu, aku telah membiarkan muka ini menebal karena ego telah terlanggar.

Hai,

Kau masih membacanya kan?

Aku pamit. Ingin pulang ke dunia bayang-bayang. Agar segala apa yang kunikmati di dunia cahaya cukup bisa kuabadikan di dunia temaram. Agar mimpi-mimpiku kucukupkan pada keindahan ia yang takkan pernah tergantikan dan agar relung hatiku masih punya kesempatan untuk menggemakan namanya dalam palung-palung waktu.

Titip dia. Untukku.

Jangan biarkan dia tahu bahwa aku memujanya seperti itu. Jangan biarkan ia menagih janjiku untuk membahagiakannya. Karena kalau itu berlaku, kau pasti akan menyesal karenanya.

Aku, si lilin yang berkedip di dunia bayang-bayang, undur diri. Terima kasih telah sudi menyimak dongeng seorang bocah dari negeri bayangan.

Padamu, kuucapkan selamat dan semoga berbahagia. Aku ikut suka cita. Salut. Kau adalah cahaya sebenarnya. Untuknya.

Sampaikan salamku. Jangan lupakan bahwa dia telah pernah kerdip bagi gelap di duniaku. Yang akan selalu abadi bersama detak napasku. Itu saja.

Selalu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar