Jumat, 07 Mei 2010

Matahari Menoreh Luka

Matahari berteriak tak mau bersahabat,
menyambut hari penuh rindu dan penantian.
Menggeliat dan sinarnya mengejar langkah gontai,
menanti berita tak juga menyapa.

Jalanan menepi berikan ruang kosong menyisakan sepi,
tak satu pun burung berkicau mengirim jawaban.
Aku tak henti mengirim pesan cinta dan rindu,
pada angin di setiap ruang,
di manakah cintaku telah singgah,
hingga lupa aku hampir lelah menunggunya.
Tak adakah tersisa sedikit pun rindu untukku?
~~~~~

Kaira melenggang dengan langkah gontai, meletakkan tasnya dan duduk dengan lesu di sebuah kursi taman yang mulai sepi ditinggalkan orang-orang karena rimbunnya tak mampu menampung sinar mentari yang makin memanas. Gadis cantik itu mengusap peluhnya sambil mendongak mencari jawaban. Matanya pedih menantang sinar mentari, berharap ada wajah yang dirindukannya di sana.
“Ke mana gerangan kau menghilang Prada. Surat dan emailku tak pernah lagi kau balas. Ini sudah minggu ke sepuluh kau mendiamkanku. Kau dengar Prada? Aku menghitungnya. Aku menghitung berapa lama kau diamkan semua jembatan kita untuk saling berkirim rindu. Apa kau sudah melupakan cinta kita? Apa kau sudah menemukan gadis lain?” gumamnya pada angin yang semakin berhamburan menghantar dedaunan kering.
Dimainkannya sehelai daun yang menempel di sepatunya, berharap di sana ada bayangan yang dicarinya. Kegelisahan dan mendung sangat jelas tergambar di wajahnya.
“Nunggu siapa Ka?”
Firma menghampirinya, mencoba bertanya walau pun lelaki itu sudah tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Kaira. Diambilnya tas Kaira yang tergeletak di bangku dan duduk di sebelah gadis yang diam-diam merebut hatinya itu.
“Nggak nunggu siapa-siapa. Istirahat saja, mataharinya panas banget hari ini. Menyengat.”
“Nggak nunggu yang lain?”
“Maksudnya?”
“Sikapmu tak akan bisa membohongiku. Pacarmu itu tak lagi membalas surat dan email-emailmu kan?”
Kaira menunduk. Diam.
“Sudah berapa lama?”
“Sepuluh minggu.”
“Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa dia sudah bosan dengan hubungan jarak jauh ini?”
“Aku tak mau berpikiran buruk. Mungkin dia sedang sibuk.”
“Kesibukan apa yang membuat orang melupakan sapaan rindu pada orang yang dicintainya?”
Kaira diam.
“Apa kamu tidak lelah menunggu tanpa kepastian?”
“Sedikit. Dan sebagai sahabat, berilah aku kekuatan, jangan kau bakar lagi rasa lelahku ini menjadi putus asa.”
“Akan terus kusulut sampai kamu tidak lagi mengatakan aku hanya sekedar sahabatmu. Tapi kekasihmu.”
“Aku sudah memiliki kekasih Fir. Mana mungkin aku berhubungan dengan dua orang sekaligus?”
“Tapi kenyataannya apa yang kau dapatkan?”
“Aku hanya mencoba berbaik sangka.”
“Walau melelahkan?”
“Aku juga mencoba setia Fir. Mengertilah. Aku sendiri sudah mulai lelah. Tapi apa salahnya menunggu? Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya dan aku ingin berprasangka baik saja.”
Kaira memandang Firma memohon pengertian. Lelaki di sebelahnya ini memang sangat perhatian, bahkan luar biasa perhatian padanya. Bagaimana mungkin hatinya tak dapat menengok sedikit pun pada genangan cinta di sana? Mengapa yang dipanggilnya selalu Prada yang sampai saat ini pun masih belum menyisakan kabar untuknya?
Kaira berdiri, mengajak Firma meninggalkan taman itu. Kedua insan itu berjalan menyusuri jalanan yang sudah mulai redup tersiram lampu taman yang sudah menyala di satu dua pojok. Firma berusaha membuat cerita-cerita lucu walaupun wajah Kaira tetap mendung.
~~~~~

Sepuluh minggu telah lewat dan pada minggu kesekian, setelah Kaira benar-benar merasa lelah, datanglah email yang sudah mulai tak diharapkannya lagi. Dengan hati berbinar segera dibacanya email itu.
Dear Kaira,
Maafkan aku kalau baru sekarang memberimu kabar. Sebenarnya sudah satu minggu yang lalu aku ingin membalas emailmu atau salah satu dari suratmu, tapi kesibukan membuatku tak dapat lagi menyisakan waktu untuk bertukar berita denganmu.
Kaira sayang, aku sebenarnya juga lama memendam rindu padamu, tapi apa yang bisa kulakukan dengan kondisi kita yang semakin tidak mungkin untuk menjaga kedekatan satu sama lain? Untuk itu bersama ini juga aku ingin beritahukan padamu, bahwa hubungan kita sepertinya tak mungkin lagi dilanjutkan. Aku tak ingin kita saling memendam rasa yang tak mungkin kita jaga. Kau nun jauh di sana sedangkan aku dengan berbagai macam rasa dan kegiatan. Semoga segera kau temukan pengganti diriku di sana.
Aku juga ingin beritahukan padamu bahwa sebentar lagi aku akan menikah dengan orang yang lebih mementingkan berada di dekatku dari pada memenuhi kehausannya akan ilmu. Aku berpikir kamu pasti sibuk dengan kuliah dan pekerjaanmu sehingga tidak akan bisa datang ikut menikmati kebahagiaanku. Untuk itu rasanya aku tidak perlu mengirimkan undangan kepadamu. Semoga kamu bisa mengerti keputusan yang aku ambil ini. Salam untukmu tercinta.
Prada.
Kaira tertegun memandangi layar yang masih menyala terang di depan matanya. Email yang lama ditunggunya akhirnya datang juga, tapi segera melenyapkan senyum di bibirnya dan debur rindu di hatinya. Matanya tak mau pergi dari kata dan kalimat yang menari memanggil nada pilu dari layar itu. Hatinya mencoba berjalan perlahan meresapi tulisan yang berulang kali dibacanya tapi tak juga berubah. Dicobanya untuk memahami, memberikan pengertian yang diminta dalam isi email yang sudah lama dinantinya itu. Lalu berhenti oleh ketukan di pintu kamarnya. Induk semangnya membuka pintu kamarnya tanpa bertanya, lalu senyum cerianya menghias ruangan yang hampir mati itu.
“Ka, ada Firma tuh di bawah.”
“Ya Tante, makasih, sebentar saya turun.”
Kaira merenung sebentar, memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan email itu. Lalu dibalasnya email Prada dengan kalimat singkat.
“Terima kasih Prada, kamu akhirnya mau membalas emailku, lengkap dengan berita mengenai hubungan kita. Maaf aku belum bisa menghapus cinta ini seketika, tapi jangan kawatir, cintaku ini tak akan mengganggu kehidupanmu. Aku turut bahagia untuk kebahagiaanmu.”
Kaira.
Lalu dihapusnya airmatanya dengan cepat dan segera berlari menemui Firma. Disimpannya rapat-rapat hati gundah, dilelangnya duka untuk matahari yang masih setia mengirimkan panas dan sejuknya. Apakah selanjutnya? Masih perlukah dipertanyakan rindu yang telah mengikrarkan diri tak berani berjuang untuk cinta? Kaira berpamitan pada Induk semangnya dan berjalan meninggalkan tempat kostnya diiringi Firma. Langkahnya semakin cepat menyusuri trotoar kecil menuju taman. Tak dihiraukannya Firma berlari kecil mengejar langkahnya yang semakin cepat dan akhirnya berlari. Mengejar rindunya yang telah melambaikan salam perpisahan, atau lari meninggalkan pedih yang tak ingin dirasakannya. Entahlah.
“Ka. Kamu kenapa sih?” teriak Firma.
Firma mencengkeram dan menarik lengan Kaira. Langkah keduanya segera terhenti. Firma membungkukkan badan mengatur nafasnya sebelum memulai bicara.
“Ada apa?” tanyanya masih dengan nafas tersengal.
Kaira memandang Firma sejenak, kemudian tersenyum dan melepaskan tangannya dari cengkeraman Firman.
“Aku ada usul. Gimana kalau kita lomba lari?”
Firma menarik nafasnya yang mulai teratur dalam-dalam, memandang Kaira heran. Matanya menyipit menahan sakit yang tiba-tiba menyerang dadanya. Kaira balas menatap sambil tertawa.
“Setuju?”
“Aneh,” jawab Firma sambil menatap Kaira penuh tanda tanya.
“Yuk, beli minum di warung depan tuh. Leherku kering sekali.”
“Kamu kenapa Fir?” tanya Kaira cemas.
“Kamu ini, nggak ada pemanasan, nggak ada aba-aba, tiba-tiba lari seperti orang dikejar hantu. Ada apa sih?”
Kaira tidak menjawab. Diikutinya langkah Firma menuju kedai kopi di seberang jalan sambil tetap membisu. Perasaannya lebih ringan walau email dari Raja masih terus terbaca oleh hatinya. Dilihatnya sebentar-sebentar wajah Firma yang sedikit memerah. Hatinya tersenyum melihat sahabat barunya itu. Sahabat yang selalu setia menemaninya, menghiburnya di saat dia tak bersemangat dan tetap memperhatikannya walau pun dia tahu dirinya sudah memiliki kekasih.
“Kekasihku sudah hilang,” bisiknya dalam hati. “Aku benar-benar masih mencintainya, tapi cintaku ini tak akan mengganggu kehidupannya. Aku janji. Dan aku akan berusaha melupakan lelaki itu perlahan.”
“Minum apa Ka? Kopi atau es teh manis?”
“Es jeruk saja.”
Firma memperhatikan setiap gerakan Kaira. Dilihatnya ada kesedihan yang disembunyikan dari wajahnya. Lalu ditepuknya pundak gadis itu pelan.
“Kamu ada masalah?”
Menggeleng.
“Apakah mengenai Prada?”
Menunduk.
“Dia sudah membalas emailmu Ya?” tanya Firma lagi sambil menatap Kaira yang masih membisu.
“Pasti dengan berita yang membuatmu sedih.”
Kaira mengambil es jeruk yang dipesannya, meminumnya sedikit, lalu sibuk dengan isi tasnya yang berantakan sewaktu dibawanya berlari.
“Dia memutuskan hubungan kalian?” desak Firma.
Kaira memandang sahabatnya sebentar, menghabiskan minumannya, lalu mengajak Firma berjalan berkeliling taman yang berada tak jauh dari rumah kostnya. Diceritakannya betapa dia ingin berlari jauh menghilangkan kalimat-kalimat yang dikirim Prada dari hatinya. Betapa dia ingin berlari pulang ke kampung halaman mengejar Prada dan menyudahi saja cita-citanya untuk menuntut ilmu dan membiayainya dengan bekerja. Semua ditumpahkannya bersama air matanya di pundak Firma. Dan Firma membiarkan Kaira di sana menghabiskan kesedihannya.
~~~~~

Kaira termenung di meja kerjanya. Berkecamuk berbagai macam pertanyaan dan pikiran di kepalanya, memandangi telepone genggamnya dan membaca sekali pesan yang dikirim Firma.
“Sore ini cerah kelihatannya. Hari ini kamu tidak ada jadwal kuliah kan? Pulang kantor kita jalan-jalan ya, setelah itu nonton. Aku akan jemput.”
Matanya beralih pada layar di depannya. Ditutupnya kembali email dari Prada yang masih ingin terus dibacanya.
“Untuk apa?” bisiknya dalam hati, “Dia sudah memutuskan, tak peduli betapa rinduku belum terselesaikan. Aku tak boleh menangis lagi. Langkahku masih panjang untuk sampai ke ujung.”
Lalu mengemasi barang-barangnya sambil mencoba menata kembali hatinya yang hampir tenggelam sebelum mengarungi air di pantai. Matanya menatap jauh ke dalam hatinya yang masih mengukir wajah cinta itu, namun dibisikkannya agar cinta dan rindu yang terpotong ini tak akan mengganggu cinta dan pintu yang lain. Redupnya sinar mentari menyambutnya di pojok sepi. Panasnya pernah menoreh luka pada kulit cintanya, namun redup dan hangatnya di kala mendung dan senja kembali menghangatkan hatinya yang tak ingin beku.
~~~~~

“Maafkan aku, aku lupa sedang bersamamu dan sibuk dengan diriku sendiri,” Kaira menatap sekilas Firma.
“Mengenai apa ini?”
“Lari di taman kemaren.”
“Oh, itu,” Firma tertawa sambil memandang hangat mata Kaira.
Diambilnya tangan Kaira dalam genggamannya. Ingin dikirimnya kehangatan cinta lewat tangan yang semakin dingin itu, namun harapannya tak sebesar cintanya.
“Aku tak akan pedulikan nafasku yang memang sering terganggu oleh gerakan lari dan sebagainya. Akan terus kuikuti langkah larimu sampai kau sadar, di sini ada matahari yang sedang menyinari cintamu. Simpan saja matahari yang telah menorehkan luka itu dan akan kusinari sampai luka itu mengatup.”
Kaira menarik tangannya dengan lembut. Ditatapnya Firma tanpa ragu lagi. Hatinya ingin sedikit mengintip sinar yang sedang menanti benih baru di hati yang sedang merindu.
“Aku masih terluka Fir, kau tahu itu.”
“Akan kubalut lukamu sampai sembuh.”
“Sampai kapan aku tak tahu.”
“Kau juga tak tahu kan seberapa kuat kekuatan cintaku.”
“Aku takut.”
“Kelak kau akan menyadari, matahari menorehkan luka hanyalah dari pantulannya, tapi hangatnyalah yang sedang kau nikmati.”
~~~~~
Kaira memandang teman-temannya yang sedang ramai menikmati kegembiraan. Masing-masing memberikan selamat atas kelulusan mereka. Di pojok kampus dia duduk di bawah rindang pepohonan di taman. Esok dia akan pulang ke kampung halaman, mengabarkan kegembiraan ini pada kedua orang tuanya yang telah renta dan hening dalam penantian untuk putri tercintanya. Tak dapat dibayangkannya betapa gembira kedua orang tuanya menerima kabar kelulusannya.
Namun sekelebat mendung menghampiri alis matanya yang segera berkerut. Ya, pertanyaan yang pasti akan terlontar dari kedua orang tuanya. Tentang janjinya untuk segera memperkenalkan calon menantu bagi mereka.
~~~~~

“Inikah calon suamimu Ka? Benarkah? Lalu kapan kalian akan segera mengabarkan berita gembira ini di kampung halamanmu?” sambut Ibunya dengan semangat lalu menjabat tangan Firma.
Menatapnya tak berkedip. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Ditatapnya putrinya dengan pandangan bertanya. Tapi pertanyaannya tak sempat terlontar oleh ketukan di pintu. Kaira membuka pintu dan wajahnya meregang melihat siapa yang berdiri di depannya.
“Apa kabar sayang? Maaf, aku sengaja membuat kejutan, jadi tak memberitahu dulu kalau aku mau datang.”
“Ah, silahkan masuk Parda,” sambut Kaira, mengusap sekilas keringat yang perlahan menghiasi keningnya.
Sementara Ibunya menatap mereka dengan kebingungan. Firma mendekap hatinya agar tidak berteriak ketakutan. Terbayang kesakitan yang bakal diterimanya. Tapi cintanya yang tak menuntut apapun membuatnya tetap tenang.
“Nah, ini dia nak Prada. Sejak kamu sekolah di Jakarta, dia tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya,” Ibunya beranjak mendekati Prada.
“Prada sibuk dengan tunangannya Bu. Maklum saja kalau dia tak sempat menanyakan kabar kita.”
“Ah, kamu bisa saja Ka,” sahut Prada cepat.
“Oh ya, aku juga ingin memperkenalkan calon suamiku. Kami sengaja tidak bertunangan dulu, karena menurut Firma lebih baik kalau langsung saja menikah.”
Kaira menarik tangan Firma dengan manja. Firma tak dapat mengerti situasi yang sedang dihadapinya. Diikutinya saja semua dengan senyum.
~~~~~

“Sehari sebelum aku mengajakmu ke sini, Prada mengirimkan email, isinya menyambut baik berita kelulusanku yang dia dapatkan dari Ibu. Dia mengatakan ingin memperbaiki hubungan kami. Aku tidak menjawab emailnya. Karena ingin menyampaikan langsung saja.” Kaira menjawab pertanyaan Firma sambil menundukkan kepalanya.
Firma memandangnya tak percaya, “Jadi? Cintaku diterima?”
“Aku tidak ingin pernyataan cinta Fir, tapi aku ingin dipinang.”
Firma menarik Kaira ke dalam pelukannya. Matahari bersinar lembut menyusup ke pori-pori hati, terlupakan sinarnya yang menorehkan luka.*****

Jika kau ingin menanyakannya untuk malam panjang kita,
aku mencintaimu, tapi cintaku tak akan mengganggu kehidupanmu,
hingga kita tetap dapat merangkai sepi dan rindu ke dalam alunan asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar