Jumat, 07 Mei 2010

Aisyah

“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidak seorangpun yang akan dirugikan walau sedikit, sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti kami akan mendatangkan pahala. Dan cukuplah kami yang membuat perhitungan.” (Q.S Al-Anbiya’: 47).

Pagi yang indah, angin meniupkan aroma kesegaran yang melenakan. Seorang gadis bertubuh sintal buru-buru masuk kesebuah gedung megah, markas stasiun TV ternama di kota New York, FDO TV.
”Aisyah, kamu di panggil Bos diruangannya!” seru Resepsionis menyambut kedatangan gadis yang dipanggil Aisyah itu.
”Thank’s Jane…!”
Aisyah itu pergi menaiki lift dan kemudian masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.
”Anda memanggil saya, Tuan Broke?”
”Oh…Aisyah…silahkan masuk. Anda cantik sekali pagi ini!” Tuan Broke sang pemimpin redaksi memuji Aisyah
”Terima Kasih tuan.”
”Ada yang ingin saya bicarakan pada anda, miss Aisyah. Ini akan sangat berpengaruh dengan karir jurnalistik anda. Dan ini akan sangat memberi kesan yang mendalam bagi anda.”
”Apa itu tuan, anda membuat saya penasaran?”
”Sesuai hasil rapat, kami memutuskan anda dan Robert untuk meliput ke Palestina?”
Aisyah terkejut. Hal yang selama ini dia mimpi-mimpikan akhirnya terwujud juga.
”Yang benar Tuan? Anda tidak bohong kan?” tanya Aisyah girang.
”Ya. Saya tidak berbohong. Senin depan anda dan Robert akan berangkat. Rute kalian adalah ke Israel terlebih dahulu, kalian akan didata dikedutaan kita disana, setelah itu baru kalian akan ke Palestina, melalui jalur darat.”
”Baik Tuan Broke. Terima kasih banyak.”
”Ingat persiapkan fisik dan mental mu!”
Aisyah mengangguk dan keluar dari ruangan Tuan Broke.

Aisyah adalah gadis manis yang terlahir dari orangtua mualaf asli Amerika, Tuan Abdullah Yusuf Wilson dan Fatma Wilson. Selama satu tahun ini, Aisyah bekerja di FDO TV sebagai reporter. Orangtuanya adalah muslim yang taat telah banyak menanamkan agama kepadanya. Setiap tahun keluarga ini selalu menginfak sebagian harta mereka untuk saudara-saudara mereka yang tertimpa bencana, taka terkecuali Palestina. Melalui perusahaan Propertinya, Tuan Abdullah dan keluarganya mayisihkan hartanya untuk diinfakkan.
Aisyah sangat rajin melakukan ibadah kepada Allah bersama-sama orangtuanya serta adiknya Syamill. Waktu kecil Aisyah terbiasa memakai jilbab, tapi ketika dia mulai kuliah, dia mulai melepaskan jilbabnya karna tidak tahan mendapat diskriminasi dari orang-orang non-muslim, terlebih-lebih banyak terjadinya islamfobia pasca peristiwa 11 September.
”Dengan siapa, kamu kesana Aisyah?” tanya Mama Aisyah ketika dia meminta izin pada orangtuanya.
”Robert Ma, dia kameraman yang biasa bersama-sama saya ketika membuat liputan.”
”Kapan kalian akan pergi?” tanya Papa nya
”Senin depan, yah!”
”Bearti Ramdhan pertama mu disana?”
Aisyah mengangguk.
”Satu hal yang perlu kamu ingat anakku, rakyat Palestina adalah saudara kita. Mereka membutuhkan bantuan kita. Yang Papa inginkan dari kamu adalah, lakukan lah sesuatu walaupun kecil untuk mereka.” Papa nya memberi wejangan.
”Disana pakailah kembali jilbabmu, kunjungilah Al-Aqsa yang agung, dan banyak-banyak lah berdoa biar selalu dimudahkan.”

  

Bandara New York,
”Ingat Aisyah kata-kata Papa kemarin, jangan sampai kau melupakan hal itu.”
”Baik Pa.”
”Aisyah, kamu hati-hati ya. Mama akan selalu mendoakamu.”
”Ya Ma, Insyaallah.”
Mereka kemudian berangkat, nyonya Fatma menangisi kepergian anaknya.

Aisyah dan Robert duduk satu bangku. Tapi mereka dibatasi oleh seorang wanita tua ditengah-tengahnya.
”Robert, aku masih tidak percaya kita akan ke Palestina. Serasa mimpi. kata Aisyah ketika berada di pesawat.
”Tidak Aisyah. Ini bukan mimpi tapi kenyataan. Tapi kita harus tetap hati-hati, soalnya banyak wartawan-wartawan internasional yang kena bomnya Israel.”
”Israel memang baidab!”
”Israel tidak akan menyerang Gaza, apabila Hamas tidak menyerang Israel lebih dulu.”
”Aku kira itu wajar Robert. Serangan HAMAS adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap penjajahan Israel atas tanah kelahiran mereka. Dan negara kita mendukung Israel.”
”Ya, sudah tentu. Kau tau kalau negara kita ini telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi.”
”Kalau kita membicarakan Palestina-Israel tidak pernah habis-habisnya. Ya sudahlah, bangunkan aku bila kita sampai.” Aisyah memejamkan matanya.
Mereka akhinya sampai di bandara di Tel. Aviv. Aisyah dan Robert memeriksa barang-barangnya. Selanjutnya mereka telah dijemput utusan dari FDO TV menuju kedutaan AS.
”Aisyah, kau tadi tidurnya ngorok…”
”Sssttt…awas kau nanti…”
Setelah segala urusan administrasi lancar dilaksanakan. Akses mereka masuk ke Gaza pun tidak begitu dipersulit oleh aparat di Israel. Aisyah dan Robert bersiap-siap hari itu juga berangkat ke Gaza dan terlebih dahulu masuk ke Tepi Barat untuk liputan pertama.
”Gaza, aku datang…”
Melalui jalur darat, mereka berangkat dengan menggunakan kendaraan FDO TV yang telah disiapkan.
Hampir sekitar 6 jam perjalanan, akhirnya mereka sampai. Hotel di Yerussalem untuk mereka telah disiapakan FDO TV.
Ada sensasi lain yang dirasakan Aisyah ketika sampai di Bumi para Mujahid. Hatinya tenang tapi bergemuruh seolah hendak menyuruh melakukan sesuatu. Aroma angin yang khas tanah Arab melenakan pikiran dan jiwa Aisyah, hingga melayang mencari-cari sumber kehidupan. Terdengar olehnya suara-suara yang samar, yang merintih dan mengharap tapi semuanya hilang begitu saja. Apa ini? Pikir Aisyah.
Dikamar hotel, Aisyah teringat pesan Mamanya. Dia membuka bungkusan yang terbungkus rapi dikopernya. Bungkusan itu berisi beberapa helai busana panjang khas perempuan-perempuan Arab lengkap dengan kerudungnya. Setelah membersihkan diri, dia mengenakan busana yang ada dibungkusan itu dan memilih busana warna coklat pekat. Penampilannya kini telah berubah.
”Ya Allah, inilah aku yang sebenarnya…”
Aisyah berjalan menuju lobi hotel dan bertemu dengan Robert.
”Apa yang terjadi padamu Aisyah?” tanya Robert keheranan melihat penampilan Aisyah.
”Aku rasa tidak ada yang terjadi padaku, Robert!”
”Penampilanmu? Mana pakaianmu yang dulu?”
”Sudah aku buang!”
Robert tambah bingung, ”Kau mau kemana?”
”Aku akan ke Masjidil Aqsa!”
”Sendiri? Apa kau tidak takut?”
”Pada siapa aku harus takut Robert? Kepada warga disini? Mereka suadaraku, saudara seagamaku! Aku pergi!”
Aisyah meninggalkan Robert yang masih bingung dan keheranan. Dia melangkahkan kakinya pelan-pelan. Tadi dia merasa asing tapi sekarang dia telah mulai rileks.
Sesampainya dimasjid yang bekubah emas, Aisyah ditegur oleh seorang lelaki tua, untung sedikit banyak Aisyah mengerti bahasa Arab.
”Kau mau kemana?” ujar lelaki tua itu.
”Aku hendak ke Masjidil Aqsa!”
”Tapi mengapa kau berdiri dihalaman masjid ini?”
”Tapi bukankah ini Masjidil Aqsa?” Tanya Aisyah heran.
”Masyaallah, kau ini muslim atau bukan?” Laki-laki tua itu marah pada Aisyah yang dianggapnya orang palestina. ”Kalau kau benar-benar muslim, seharusnya kau tahu yang mana masjidil Aqsa yang agung itu!”
”Aku tidak tahu maksud anda?”
”Benar-benar Yahudi biadab telah menghapus pikiran pemuda-pemudi Islam. Itulah Masjidil Aqsa, bukan ini.” laki-laki tua itu menunjuk kearah masjid berwarna Biru yang tidak begitu jauh dari masjid berkubah emas tadi.
Laki-laki tua itu meninggalkan Aisyah sambil terus mengoceh sendiri. Aisyah cuma terpaku.
”Astagfirullah. Ampunilah aku ya Allah…Begitu banyak pemikiran-pemikiranku yang telah teracuni oleh zionis biadab itu.” ratap Aisyah dalam hati.
Adzan Dzuhur berkumandang. Aisyah malangkahkan kakinya menuju masjid yang ditunjuk laki-laki tua tadi. Aisyah masuk, dan seketika itu juga tubuhnya lemah, dia menangis, jatuh dan bersujud.
Aisyah masih tidak percaya bahwa dia ada didalam Masjidil Aqsa tempat Nabi Muhammad singgah yang kemudian naik ke Sidratul Muntaha dalam perjalan Isra’ Mi’raj untuk menjemput shalat. Adzan membuat hatinya pilu, luka dan terharu. Jiwanya kembali segar dan tersadarkan. Dia berdoa memohon ampun kepada Allah.
Di awal Ramadhan ini, Aisyah akan menuju Gaza. Berangkat bersama Robert yang masih tidak percaya dengan penampilannya.
Selama perjalanan tak henti-hentinya Aisyah berdoa dan menangis. Robert disebelahnya tidak dihiraukan. Tujuh jam perjalanan, akhirnya mereka sampai.
Gersang dan mencekam. Itulah yang pertama kali menyambut kedatangan mereka.
Aisyah kembali mendengar suara yang samar itu, terdengar seperti rintihan dan pengharapan. Dia kembali mencoba mencari sumber suara itu, tapi semuanya hilang begitu saja.
Roket-roket Israel terus terdengar menembak sudut-sudut kota di Gaza, tank-tank baja telah mulai masuk. Mayat-mayat bergelimpangan. Aisyah terpana melihat semuanya, hatinya hancur.
”Kau siap Aisyah?” tanya Robert.
”Insyaallah.” Aisyah menahan hatinya.
”1…2…3…OK!” Robert mulai mengambil gambar.
”Pemirsa, Ramadhan yang menjadi bulan suci bagi umat Islam, tidak bis dirasakan oleh rakyat Palestina di Gaza. Roket-roket terus menghantam dan tank-tank baja telah mulai memasuki kota. Disana terlihat anak-anak dan pemuda Palestina menghadang mobil yang dinaiki tentara Israel dengan melemparkannya dengan batu-batu kerikil….”
Aisyah sudah tidak tahan. Dibelakangnya tentara Israel terus menembak membabi buta, salah satu anak-anak yang ikut menghadang tewas oleh tembakan mereka.
”Robert, aku sudah tidak tahan lagi…” Aisyah menyerahkan microphone nya kepada Robert yang masih sibuk mengambil gambar.
”Aisyah kau mau kemana?” seru Robert.
”Aku akan menolong mereka!”
”Apa yang kau lakukan, kita sedang bekerja!”
”Robert, I am a Moslem, aku harus membantu saudara-saudaraku…”
Aisyah berlari kearah anak-anak itu. Dia membantu anak-anak memasukkan teman mereka yang terkena tembakan tadi ke ambulans milik Bulan Sabit Merah.
”Aisyah…kembali…!!!” teriak Robert.
Aisyah tak memperdulikan teriakan Robert. Dikumpulnya batu-batu kerikil, ”Allahuakbar…” Aisyah melempar batu-batu itu kearah mobil tentara Israel tersebut. Demi melihat Aisyah melempar batu, anak-anak dan pemuda-pemuda tadi juga kembali ikut melempar batu.
”Cepat kita berlindung disana, sepertinya salah satu diantara mereka akan menembak kearah sini…” teriaka Aisyah memberi komando.
Sementara itu di studio FDO TV, semua orang terkejut melihat tindakan Aisyah dimonitor-monitor studio. Liputan yang secara langsung ditayangkan itu menjadi kacau.
”Apa yang terjadi?” Tuan Broke memasuki studio.
”Tidak tahu kenapa, Aisyah berhenti siaran dan pergi membantu anak-anak Palestina menghadang tentara Israel!”
”Apa mau nya perempuan itu?”
”Tuan Broke, bagaimana ini?” tanya salah satu operator.
”Cepat, hapus liputan itu. Tayangkan comercial break!” perintah sang Pemimpin Redaksi.
”Baik Tuan!”
Tuan Broke menelpon Robert, ” Robert, apa yang terjadi dengan Aisyah?”
”Tidak tahu Tuan, saya juga bingung.” jawab Robert diujung telpon.
”Cepat kamu tahan dia.”
”Tidak bisa Tuan, saya tidak bisa bergerak kearahnya. Tentara Israel terus menembak kearah mereka…”
”Tuan Broke, ada telpon dari CIA.”
”Kacau….”
Dirumah keluarga Wilson, keharuan pecah, liputan dari anak mereka yang walau cuma sebentar telah membuat mereka menumpahkan airmata keharuan.
”Itu yang Papa inginkan Anakku…” ujar Tuan Abdullah.
”Ya Allah…Lindungilah anakku dan saudara-saudara kami disana…” Nyonya Fatma terus menangis.

Aisyah terus mengatur strategi bersama kawan-kawan barunya.
”Kau siapa?” tanya slah satu pemuda kepada Aisyah.
”Aku Aisyah, reporter TV asal Amerika.”
Wajah anak-anak dan pemuda-pemuda tadi menunjukan kekurangsenangan mereka, tapi Aisyah tahu dan berkata, ”Aku seorang muslim. Dan aku akan membantu dan berjuang bersama kalian.”
”Subhanallah…subhannallah…” teriak mereka serentak. Satu per satu dari merekapun memperkenalkan diri.
Aisyah terharu dan menangis, tapi semangatnya tetap membara, ”Baiklah, saudaraku mereka terus menembak kita, dan kita tidak mungkin terus berdiam diri berlindung disini. Kita harus menyerang. Aku punya strategi!”
”Apa itu Aisyah?” tanya Ahmed, salah satu pemuda diantara mereka.
”Kalian para anak-anak, tetap lempar mereka dengan ketapel kerikil. Yang memegang panah berpencarlah kesegala penjuru, dan tunggu komando dariku dan kita akan menyerang mereka. Aku, Aman, Salma, dan Kauf, akan melempar mereka dengan bom molotov ini. Bagaimana?”
”Baiklah.”
Sesuai dengan komando dari Aisyah mereka mulai memencar, dan berlindungan di benteng masing-masing.
”Teman-teman bersiaplah…”
Semua mengangguk.
”Serbuuuuu….”
Allahuakbar….Allahuakbar….gema takbir terdengar keluar dari mulut-mulut mereka. Mereka menyerang mobil patroli tentara Israel, tanpa gentar sedikitpun. Bom molotov membakar mobil mereka. Dua orang tentara terlihat berdarah kepalanya akibat tembakan ketapel dari anak-anak. Pasukan panah juga tak tinggal diam, satu orang tentara tewas. Pasukan patroli Israel kalang kabut, dan mereka akhirnya pun pergi. Seganas-ganasnya api, akan tetap bisa dipadamkan oleh air yang dingin. Sontak mereka bergembira, musuh telah pergi.
Robert yang dari tadi melihat kejadian itu masih merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aisyah yang dikenalnya sebagai perempuan lembut, mampu membuat kabur tentara-tentara Israel.
Berkah Ramadhan hadir ditengah-tengah mereka. Perjuangan tidaklah sampai disini. Selama musuh Allah masih berkeliaran dimuka bumi ini.

  
”Aku harap hari ini kau tidak buat kegilaan itu lagi Aisyah. Kemarin aku dimarah habis-habisan oleh Tuan Broke, apalagi ketika dia melihat penampilanmu yang sudah berubah.” ujar Robert ketika hendak berangkat meliput di hari kedua.
”Apa kau bilang? Aku gila?” Aisyah tersenyum sinis, ”Setiap orang, siapapun itu kalau punya hati pasti akan tergerak untuk membantu saudara-saudaranya yang tertindas.”
”Aku tahu. Tapi tujuan utama kita kesini adalah membuat liputan untuk FDO TV.”
”Mungkin itu untuk kau, tapi untuk aku tidak. Ramadhan yang seharusnya dirasakan indah oleh saudaraku disini, hilang karena yahudi biadab itu memporak- porandakan harapan mereka”
”Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu.”
”Terserah. Aku juga tidak ingin kau untuk mengetahui jalan pikiranku.”
”Aku mohon kau jangan lakukan itu lagi ketika kita sedang meliput.”
”Haruskah aku jelaskan untuk kedua kalinya padamu, aku adalah MUSLIM. Ingat itu.”
”Aku tahu kau Muslim. Tapi, Raja Abdullah, Husni Mubarak dan yang lainnya diam saja, malah terkesan mereka mendukung Israel.”
Aisyah hanya diam.
Suara ledakan masih terdengar dimana-mana. Mobil-mobil ambulans milik Bulan Sabit Merah berlalu-lalang membawa korban-korban kebiadaban Israel.
Aisyah dan Robert mulai berkerja. Mereka meliput disekitar sekolah PBB yang hancur oleh serangan Israel. Robert nampak puas, melihat rekannya kembali seperti sediakala.
”Untuk hari ini kita selesai Aisyah. Aku akan memproses video ini dan mengirimkanya ke kantor lewat setelit.”
”Baiklah Robert. Tinggalkan aku sendiri. Aku akan berjalan-jalan dulu disini.”
”Kau harus hati-hati, serangan roket Israel bisa mengenaimu kapan saja. Dan juga jangan kau lakukan hal gila lagi, aku masih mebutuhkanmu untuk liputan besok.” ujar Robert memperingati.
”Bukan urusanmu Robert.”
Aisyah berjalan-jalan disekitar reruntuhan sekolah PBB yang roboh. Dia ikut membantu anak-anak mencari puing-puing yang masih bisa mereka pergunakan.
Aisyah meninggalkan sekolah itu. Dia pergi menuju sebuah gudang yang telah tidak terpakai lagi.
Betapa terkejutnya Aisyah ketika mendengar suara rintihan yang menyayat pilu. Suara itu berasal dari dalam gedung. Seorang perempuan hamil tergeletak lemas, dengan baju pada bagian perut terbuka. Seorang tentara bersiap-siap menyayat-nyayat perutnya dengan pisau tajam.
”Umi…Umi…!!!” terdengar teriakan seorang laki-laki yang terikat tangan dan kakinya di sudut ruangan. ”Akan aku bunuh kau, Yahudi Jahanam apabila kau sedikit saja melukai istriku.”
Ternyata, laki-laki itu adalah suami dari perempuan hamil yang akan disayat perutnya oleh tentara Israel. Betapa kejinya, seoang istri kan dorobek-robek perutnya yang sedang mengandung dihadapan suaminya sendiri.
Aisyah memutar otak, apa yang dapat dia lakukan. Dilihatnya tentara Israel yang hanya sendiri tertawa terbahak-bahak dan bersiap-siap untuk melakukan niat buruknya.
Ilham Allah datang pada Aisyah. Dia ditunjukkan oleh Allah sebongkah kawat berduri tergeletak begitu saja dihadapannya. Aisyah meraihnya, dan bersiap-siap menyerang. Secara perlahan-lahan Aisyah berjalan menuju tentara itu, dan…”AAAKKKHHHH…” tentara itu berteriak kesakitan, wajahnya penuh darah akibat hantaman dari Aisyah. Aisyah terus menghantam bongkahan kawatnya, dan akhirnya tentara itu jatuh terkapar.
Aisyah menolong perempuan hamil itu dan suaminya yang sedang terikat.
”Mari ikut aku. Aku tahu tempat sembunyi. Kelihatannya tentara ini belum tewas, tapi hanya pingsan walaupun benturan kawat berduri darimu cukup keras. Sewaktu-waktu dia akan kembali mencari kita.” kata Laki-laki itu
Aisyah membantu laki-laki itu membawa istrinya yang lemah.
”Saya Rahman, dan ini istri saya, Zahra.”
”Saya Aisyah!”
”Terima kasih kau telah menolong kami Aisyah.” ujar Zahra yang masih lemah.
”Ayo cepat, nanti tentara itu bangun dan mengejar kita.”
Mereka berlari meninggalkan tentara Israel yang telah terkapar. Hati-hati sekali mereka berlari, takut dilihat oleh musuh yang terus berpatroli. Rahman membawa Aisyah dan istrinya masuk kedalam sebuah lubang yang tersembunyi dibalik sebuah tumpukan batu bata. Ternyata lubang itu adalah jalan menuju terowongan bawah tanah.
”Rahman, ada apa ini? Apa yang terjadi dengan kau dan istrimu?” seorang wanita paruh baya menyambut mereka.
“Tadi kami disandera tentara Yahudi. Tapi kami selamat atas bantuan Ukhti Aisyah ini!” jawab Rahman.
Umi Laila melirik pada Aisyah, “Siapa dia Rahman, mengapa kau sembarangan membawa orang masuk ketempat rahasia ini? Sepertinya dia bukan orang kita, wajahnya tidak mirip dengan wajah orang Arab pada umumnya!”
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” seorang Laki-laki tua bersorban putih keluar menghampri mereka.
Rahman dan Zahra menceritakan kejadian yang menimpa mereka tadi.
“Jadi kau yang telah membantu anak dan menantu ku. Terima kasih banyak.” Kata laki-laki itu. “Saya, Ayob Ash’rifai!”
“Jadi anda Ayob Ash’rifai?”
“Ya, kenapa?”
“Tidak apa-apa. Nama anda terasa familiar sekali ditelinga saya.”
“Ceritakan tentang dirimu!”
“Saya Aisyah Nur Al-Kamil. Saya orang Amerika.”
“Apa? Amerika?” Umi Laila terkejut.
“Iya. Umi, saya adalah reporter sebuah TV di Amerika yang mendapat tugas disini. Dan saya adalah Muslim. Saya tahu anda pasti mengira saya mata-mata.”
“Saya kira tidak ada muslim asli warga Amerika!”
“Ada banyak Umi, terlebih pasca serangan 11 September. Warga Amerika banyak datang ke Islamic Centre untuk mempelajari Islam dan menjadi mualaf.”
“Subhanallah…”
“Apa anda masih tidak percaya denganku?” Aisyah terus mencoba meyakinkan.
“Insya Allah kami percaya.”
“Alahamdulillah.”
Memang orang-orang di Palestina selalu hati-hati dengan orang asing. Terutama orang yang berasal dari Amerika. Mereka takut orang asing yang datang adalah mata-mata CIA atau MOSSAD.
“Beginilah keadaan kami Aisyah. Hidup mengatur strategi melawan musuh dirumah bawah tanah.” Kata Zahra.
“Mengatur strategi?”
“Ya. Kami adalah pejuang HAMAS!”
“Subhanallah, Ya Allah Kau pertemukan aku dengan para pejuang-pejuang-Mu” seru Aisyah.
“Situasi diatas semakin kacau. Israel terus mengempur, tapi respon dunia tidak ada sama sekali.” kata Rahman.
“Bagaimana dengan negara-negara Arab? Mereka saudara kita?”
“Cis. Saudara apa? Apakah tega seorang saudara melihat saudaranya bersimbah darah? Arab saudi, Mesir, Turki dan lain-lainnya hanyalah simbol negara yang mengatasnamakan diri berlandaskan Islam, tapi setiap kebijakannya telah dikomando dan diatur oleh Zionis biadab. Mereka cuma boneka” ucap Syekh Ayob berapi-api, “Mereka takut, apabila mereka bertindak maka embargo dari Amerika akan menjatuhkan mereka.”
“Tapi menurut saya, HAMAS seharusnya bersatu dengan Fattah! Itulah yang dapat mewujudkan harapan Palestina yang mardeka.” Aisyah menambahkan.
“Bersatu dengan Fattah? Itu mustahil. Sama dengan negara-negara Arab, anakku, orang-orang Fattah telah diatur Zionis. Mereka menempuh upaya diplomasi, tapi untuk apa menempuh jalur itu, kalau setiap perjanjian selalu dilanggar oleh Zionis. Hanya satu yang dapa mengakhiri, yakni hanya melawan dan menyerang. Dan itulah yang HAMAS lakukan selama ini, karna kami yakin janji Allah kepada kita Umat Islam akan segera datang, walaupun kita belum tahu kapan akan datang. Tapi kita harus tetap bersabar.”
Aisyah terharu. Dia meneteskan airmata. Dia berpikir betapa kuatnya semangat dari orangtua yang rambutnya telah memutih dan wajah yang mulai keriput ini. Sedangkan dia, apa yang dapat dia lakukan untuk saudara-saudaranya yang tertindas. Terlintas dipikirannya perkataan Papanya sebelum dia berangkat.
“Syekh. Saya siap berjihad bersama kalian.”
“Apa kau yakin?”
“Demi Allah. Saya siap. Saya siap melawan Yahudi, dengan cara apapun. Termasuk bom bunuh diri!” jawab Aisyah terus menangis.
“Jihad bukanlah perkara siap atau tidak siap. Tapi, apakah kita ikhlas untuk melakukannya.” Kata Umi Laila.
“Bagaimana, dengan keluargamu Aisyah, apa mereka juga ikhlas? Percuma saja bila hanya kau saja ikhlas melakukan Jihad tapi keluagamu tidak.” tambah Zahra.
“Demi Allah. Saya dan juga keluarga saya ikhlas.”
“Subhanallah…Allahuakbar…Allahuakbar….”
“Berbuka lah disini. Istriku telah masak beberapa makanan.”
“Terima kasih Syekh”
  

Beberapa hari Aisyah tinggal dirumah bawah tanah itu. Dia dan yang lainnya mengatur strategi untuk meyerang musuh dan mencari waktu yang tepat untuk melakukan perlawanan.
“Baiklah. Nama operasi kita kali ini adalah “Operasi Putih”. Mudah-mudahan kia berhasil.” Syekh Ayob memberi komando. “Anakku kau kembalilah keatas. Dan bila hatimu telah mantap, maka kembalilah lagi kesini Jumat besok. Insya Allah, kita akan hancurkan Yahudi pada hari itu.”
Aisyah mengangguk. Dan diapun kemudian kembali keatas. Dia kembali bertemu dengan Robert.
“Aisyah kemana saja kau menghilang selama ini? Tuan Broke menanyakamu setiap hari. Katanya kalau kau juga tidak kembali, maka kau akan digantikan dengan reporter lain.”
Aisyah hanya diam.
“Kamu tahu, akibat ulahmu kemarin FDO TV turun rating, kita menjadi bua-bualan stasiun TV lain. CIA dan FBI menjadi sering ke kantor kita.” tambah Robert.
“Katakan kepada Tuan Broke, aku menyatakan diri berhenti dari FDO TV.”
“Apa yang kau katakan? Bagaimana dengan karirmu?”
“Dulu memang aku mengharapkan karir yang cemerlang. Tapi mulai hari ini, mimpiku hanya satu, yakni mimpi bertemu dengan Allah, Tuhanku, dengan jiwa yang suci dan bersih. Dan itu aku akan aku wujudkan. Tekadku telah bulat.”
“Aduh Aisyah, kau bicara apa ini aku tidak mengerti?”
“Sahabatku, suatu saat kau pasti akan mengerti. Aku juga berharap kau akan lakukan hal sama seperti aku, walaupun itu susah bagimu.”
“Apa kau akan ikut menbantu orang-orang Palestina dengan melempar mobil-mobil Israel dengan batu lagi?”
Aisyah kembali diam.
“Lebih dari itu. Robert, terima kasih atas kebersamaan nya selama ini. Dan berikan surat ini pada keluargaku.” Aisyah memberikan secarik kertas kepada Robert, “Doakan aku biar aku bisa bertemu Tuhanku.”
Aisyah meninggalkan Robert yang terus memutar otak untuk dapat mencerna kata-kata nya yang membuat Robert bingung.

Jumat yang di Nanti…
“Saya siap syekh…”
“Baiklah anakku. Kau tidak sendiri. Rahman dan istrinya Zahra juga akan berjihad bersamamu.”
“Aisyah melirik pada Zahra.
“Ini adalah kapsul yang berisi kan chip yang bisa membuat ledakan besar.” Syekh Ayob memberikan kapsul kepada mereka, “Dan masing-masing dari kalian pegang hanphone ini, tombol nomor satu adalah tombol yang akan meledakkan kapsul itu. Sekarang telan lah kapsul itu.”
Aisyah, Rahman dan Zahra yang sedang hamil menelan kapsul itu bersama-sama.
“Baiklah. Strategi kita adalah masing-masing dari kalian berpencar. Kalian harus berjalan kebenteng-benteng musuh dan kemudian meledakan diri.”
“Baik” jawab mereka bertiga serentak.
“Semoga kalian syahid dijalan Allah.
“Amin….!!!”
Mereka kembali naik keatas. Sementara itu Israel terus mengempur Gaza dari segala arah, darat, udara dan laut. Korban-korban mulai kembali berjatuhan, gedung-gedung, rumah-rumah dan fasilitas umum lainnya kembali hancur.
“Zahra, kenapa kau juga melakukan ini? Bagaimana dengan calon bayimu?” tanya Aisyah.
“Insya Allah, Aisyah, aku, suamiku dan calon bayiku akan syahid dan bertemu disurga.”
Aisyah terharu melihat keteguhan hati Zahra, seorang perempuan yang sedang hamil ikut berjihad dan akan meledakkan dirinya.
“Ingat, apabila telah berbunyi ledakan pertama diutara bearti aku telah syahid, maka istriku lakukan tugasmu dengan baik di selatan. Dan kau Aisyah, bila telah mendengar ledakan di utara dan selatan, maka bersiap-siapalah, dan lakukan tugasmu. Handphone yang diberikan Ayahku tadi akan memberikan informasi apakah kapsul ditubuh kita telah meladak atau belum”
Mereka selanjutnya berpisah.
Aisyah melangkah hati-hati tapi pasti dengan harapn yang teguh, sambil terus waspada dari serangan roket Israel. Dia menuju kearah barat, disana terdapat kamp tempat tentara Israel yang ditugaskan memantau pembangunan pemukiman yahudi di gaza.
“Saya, wartawan dari FDO TV Amerika Serikat. Boleh saya masuk!” Aisyah mulai menjalankan tugasnya sambil menunjukkan tanda pengenalnya.
“Geledah dia!” perintah seorang tentara kepada tentara wanita.
Aisyah kemudian diperiksa secara intensif.
“Dia bersih, Pak!”
“Silahkan masuk!!!”
Alhamdulillah…Aisyah semula takut tidak diperkenankan masuk, apalagi bila para tentara melihat penampilannya yang memakai pakaian panjang dan kerudung yang membalut seluruh tubuhnya.
Beberapa jam disana, Aisyah tampak gelisah. Dia belum mendapat informasi dari handphone nya. Beberapa menit kemudian, handphone-nya memberikan informasi bahwa di utara bom telah meledak.
“Innalillhahi wa Innalillahiroji’un….Rahman telah syahid”
Aisyah terus melakukan wawancara dengan para tentara. Dia terus memberikan pertanyaan supaya menghilangkan kecurigaan atas dirinya.
“Kau orang Amerika, kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya seorang tentara yang kelihatannya sedang mabuk. “Kau saudara kami bukan?”
Aisyah hanya diam. Najis aku besaudara dengan kau yahudi keparat, pikirnya. Dia terus melanjutkan wawancaranya. Hatinya terus dikuatkan.
Beberapa saat kemudian, handphonenya memberi tanda bahwa bom di selatan telah meledak.
“Sampai jumpa Zahra, sekarang giliranku…”
Seorang tentara menghadap Komandannya, “Komandan, kami menerima laporan kamp kita di utara dan selatan meledak. Semua pasukan kita tewas. Kekuatan bom diperkirakan lebih dahsyat dari serangan bom HAMAS sebelumnya.”
“Kini giliranku ya Allah…”
Aisyah bersiap-siap. Dia lalu berdiri dan berteriak. “YA ALLAH SAMBUTLAH AKU….ALLAHUAKABAR…..” semua tentara terkejut. Aisyah lalu menekan tombol nomor satu di handphone-nya, dan DHHHUAAARRRR….seketika itu juga kamp tentara Israel hancur luluh lantak tak bersisa sama sekali. Sekitar 30 orang tentara Israel yang menghuni kamp itu tewas. Dan Aisyah syahid. Aroma melati menyeruak keudara.
Pada Jumat pagi itu, sembilan puluh empat orang tentara Israel dilaporkan tewas oleh bom bunuh diri Aisyah, Rahman dan Zahra.
Aisyah menuju Tuhannya bersama kesucian Ramadhan…
  
“Assalamu’alaikum….
Papa…Mama…mereka boleh saja tertawa tapi aku dan kita umat muslim di dunia yang memiliki hati tidak akan tingal diam. Boleh saja mereka menginjak-injak harga diri kita, tapi dengan bantuan Allah kita akan terus melawan.
Surat ini adalah surat terakhir dariku. Karna aku mungkin tidak akan kembali lagi ke pangkuan kalian. Allah telah menanamkan dihatiku sebuah kalimat yakni, JIHAD FISABILILLAH. Sungguh Papa, Mama, setelah aku menulis surat ini aku akan melangkah menjemput asa yang dimimpi-mimpikan umat muslim, yakni, mati Syahid dijalan Allah.
Jangan sekali-kali kalian meneteskan airmata, karna kepergianku bukan karna kesia-siaan belaka. Tapi aku disini, ditanah para nabi, ikut berjuang membantu saudara-saudara kita yang tertindas oleh bangsa kera, Zionis-Yahudi terlaknat.
Papa…Mama ikhlaskan lah diriku. Karna dengan keikhlasan kalian, aku akan bertemu dengan Allah dalam keaadaan tenang dan suci.
Tetap bantu saudara-saudara kita yang tertindas, tidak hanya di palestina, tapi disetiap tempat saudara-saudara kita yang lainnya, walaupun sebesar zarrah, Allah akan menghitungnya….
Papa..Mama aku menunggu kalian….

SALAM CINTA
AISYAH

“Anakku. Selamat jalan. Papa dan Mama ikhlas melepas kepergianmu mengahadap ALLAH YANG MAHA BESAR….”

yang takkan terganti

Hai,

Apa kabar? Lama tak sua. Jangan dulu bertanya. Biar kuprediksi sendiri kemungkinan laku yang akan kau buat. Pertama, kau pasti bertanya, siapa aku? Sebuah pertanyaan bodoh yang sebenarnya tak perlu jawaban, karena hanya dengan melihat namaku saja kau sudah merasa mulas dan tak enak badan. Begitu bukan? Aku tertawa sendiri membayangkannya. Banyak hal bisa terjadi dalam hidup ini, termasuk merusak kebahagiaan. Tapi, tenang saja. Aku menulis ini bukan untuk mengusikmu, tapi untuk berbaikan denganmu. Setidaknya dengan begitu, aku bisa lebih berbaikan dengan diriku sendiri, mengeluarkan lahar panas tanpa harus meledak, dan menghempaskan ombak menuju pantai lalu secepatnya menyamudra lagi.

Kedua, kau pasti langsung bertanya, ada apa? Sinyal di dalam kepalamu sudah mulai menyatakan siaga satu. Sekali lagi, tenang saja. Kita akan jalani ini secara pelan-pelan. Kita nikmati dalam-dalam meski itu dalam diam. Seperti menghirup aroma moccacino dan merasakan sensasinya senyap di ujung lidah. Bukankah kejernihan akan terasa menyegarkan dibanding keruwetan dalam keramaian?

Untuk membaca tulisan ini, aku ucapkan terima kasih. Setidaknya, kau telah bersikap ksatria dan dewasa. Tak langsung men-delete-nya atau tak berhasrat ingin membacanya sama sekali. Aku hanya sedang ingin berbagi pikir denganmu, sedikit bercerita sebelum kau akhirnya harus secara nyata mengalahkan aku dan membuat duniamu sendiri tanpa harus ada pengganggu lagi.

Baiklah, mari kita tak usah berbasa-basi lagi. Kuawali semuanya dengan sebuah tanya. Pernahkah kau merasakan hidup di dunia bayang-bayang?

Jangan tertawa. Dunia ini adalah dunia antara dimana realitas dan imajinasi bergandengan dengan sangat sempurna. Tak perlu harus memetakan putih dan hitam, karena banyak warna tak terduga yang bisa kita jumpa. Jika kau tak keberatan, izinkan aku mendongengkan ini dulu padamu. Semoga waktumu cukup untuk itu.

Ada seorang anak yang hidup di dunia bayang-bayang, dimana cahaya enggan sekali membagi sinarnya dan kerdipnya hanya lebih terang dari lilin yang terpasang di malam yang gelap dan dingin. Setiap saat, dia selalu bermohon dan mengharapkan keajaiban, bahwa langitnya nanti akan indah dan tak lagi gulita. Ia telah memasang seribu permohonan di dinding kamarnya yang lembab dan beku, tapi belum satu orang peri pun yang mau mengabulkannya. Ia belum cukup sempurna untuk tiba di dunia cahaya, kata mereka. Maka ia pun menikmati dunianya dalam bayang-bayang, dimana segala sesuatu hanya bisa ia lihat bayang-bayangnya, atau siluet yang tak pernah cukup jelas untuk digenggam atau dibawa ke dalam impian.

Ia menerima dengan sebuah keyakinan ia akan segera melihat cahaya.

Lantas, suatu ketika, ketika ia telah dirasa matang untuk mendapatkan cahaya, maka tabir itu mulai terbuka. Ia gembira karena yang dilihatnya tak melulu gelap dan bayangan saja. Ia menikmati cahaya memandikan tubuhnya, ia merasakan betapa hangatnya cahaya bersahabat dengannya, dan diam-diam terpejam saat merasakan beludak bahagia itu sempurna membungkus jiwanya.

Ia pasti akan terus begitu jika sebuah suara tak mengusiknya, membuat tubuhnya yang terbaring terperanjat kaget dan matanya membuka cepat.

Ada suara.

Yang dulu tak pernah ada.

Yang dulu ia nikmati hanya dalam bayangan saja.

Yang dulu ia rindukan dan sanggup menggetarkan jiwanya meski itu hanya dalam bayang.

Ia akhirnya jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya hingga ia sadari ia takkan pernah bisa hidup lagi kerenanya. Dunia cahaya telah menjanjikan sebuah episode dimana ia harus berbagi tanpa ada pretensi. Ia menatap takjub dan secara sadar menunjukkan senyum terbaiknya. Kata orang-orang, itulah senyum terbaik yang pernah ada di dunia cahaya.

Peri yang dilihatnya pun tertawa. Dan ia memang layak untuk tertawa.

Jika kukatakan itulah waktunya untuk menghentikan cerita ini, kau pasti takkan setuju. Sungguh pun begitu, sebenarnya aku ingin sekali menutupnya sampai di sini saja. Agar kenangan itu masih tersimpan dan tumbuh tanpa harus layu dan menunduk pilu. Biarlah waktu menghentikan dirinya sendiri hingga akhir cerita akan berisi bahagia dan bukan duka hingga semua orang tak perlu menangis dan bersedih.

Tapi itu tak adil. Buatmu, tentu saja. Karena jika aku menghentikan cerita itu sampai di sini saja, maka kau takkan pernah ada.

Aku tak tahu sejak kapan kau mulai memasuki kehidupan para peri. Aku pun tak cukup mengerti saat menyadari betapa cepatnya bahagia menguap. Dariku, pasti. Karena tawa periku masih tetap terkembang indah, karena gelaknya masih memenuhi langit-langit dan membuat bunga-bunga mekar terkembang. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa senyumnya bukan lagi karena hanya ada aku di sana, tapi juga ada kau. Kau yang muncul dari sebuah titik, lalu kian memanjang dan mulai membentuk garis, hingga hadirmu melebihi batas hadirku, dan mulai ada sesuatu yang berubah pada jalan cerita di dunia cahaya.

Ada yang berubah.

Dan ia mulai kehilangan pegangan. Ia telah tak bertahan.

Maka di titik ini, aku harus bercerita padamu. Meski aku harus merendahkan egoku dan menunduk dalam seperti seorang hamba menghadap tuan.

Karena pada akhirnya saatnya telah tiba.

Kau tahu rasa pedih kehilangan sesuatu? Seperti bagian tubuhmu hilang begitu saja secara tiba-tiba dan kau tak pernah mengharapkan ini terjadi. Saat harimu tiba-tiba saja kembali terasa beku dan kelabu, monokrom, dan tak pernah ada lagi awan yang sempurna membentuk wajah. Aku tersadar bahwa aku telah sangat kehilangan. Saat menatap senja di ujung ombak yang menggelisir pelan, tak ada seseorang di sini, di sisi, di sampingku. Sepi ini terasa seperti mata pisau yang menguliti, membentuk sayatan yang tercuka dengan air garam.

Lama aku merenungkan semua. Aku tak ingin jadi perusak kebahagiaan. Aku bukan Rahwana yang sengaja menculik Shinta, tapi aku telah merasa menjadi Rama yang kasihnya tercuri jua. Biarpun begitu, aku cukup arif untuk tidak meminta Shinta membuat pilihan, karena sejuta kemungkinan tentu ada, termasuk jika bagaimana bila Shinta sebenarnya lebih menyukai Rahwana dibanding Rama. Aku pasti telah tertembak dan mati di tempat.

Aku hanya ingin katakan, dunia bayang-bayang itu telah menumbuhkan cinta paling relung di dalam napasku. Telah membuat aku bangun dan membuka mata dari gulita. Telah begitu bijak mengantarku pada keindahan tanpa kata:

dia.

Yang kini ingin kau curi dan kau rampas tanpa perlu mengetahui bagaimana rupa rasaku.

Hai,

Aku ingin marah, kau tahu? Aku tak ingin seperti pecundang dalam cerita picisan yang takkan pernah dapatkan peran terhormat. Aku benci jika mendengar ternyata akhir cerita ini adalah sebuah kebahagiaan antara kau dengannya dan kepedihan untukku. Tak bisakah cerita berubah?

Karena bahagia bukan ada pada mendapatkan, tapi pada memberi dan berbagi.

Aku telah berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik baginya. Memberikan napas agar ia tetap bertahan dan bisa tertawa lepas. Dan aku bukan orang yang bisa melanggar janji. Aku ingin membahagiakannya dan harus membuat ia bahagia. Itu adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar meski untuk itu aku harus rela. Rela berkorban dan rela terkorban.

Silahkan tertawa. Aku lega karena telah menyampaikan semua ini padamu. Meski untuk itu, aku telah membiarkan muka ini menebal karena ego telah terlanggar.

Hai,

Kau masih membacanya kan?

Aku pamit. Ingin pulang ke dunia bayang-bayang. Agar segala apa yang kunikmati di dunia cahaya cukup bisa kuabadikan di dunia temaram. Agar mimpi-mimpiku kucukupkan pada keindahan ia yang takkan pernah tergantikan dan agar relung hatiku masih punya kesempatan untuk menggemakan namanya dalam palung-palung waktu.

Titip dia. Untukku.

Jangan biarkan dia tahu bahwa aku memujanya seperti itu. Jangan biarkan ia menagih janjiku untuk membahagiakannya. Karena kalau itu berlaku, kau pasti akan menyesal karenanya.

Aku, si lilin yang berkedip di dunia bayang-bayang, undur diri. Terima kasih telah sudi menyimak dongeng seorang bocah dari negeri bayangan.

Padamu, kuucapkan selamat dan semoga berbahagia. Aku ikut suka cita. Salut. Kau adalah cahaya sebenarnya. Untuknya.

Sampaikan salamku. Jangan lupakan bahwa dia telah pernah kerdip bagi gelap di duniaku. Yang akan selalu abadi bersama detak napasku. Itu saja.

Selalu…

Matahari Menoreh Luka

Matahari berteriak tak mau bersahabat,
menyambut hari penuh rindu dan penantian.
Menggeliat dan sinarnya mengejar langkah gontai,
menanti berita tak juga menyapa.

Jalanan menepi berikan ruang kosong menyisakan sepi,
tak satu pun burung berkicau mengirim jawaban.
Aku tak henti mengirim pesan cinta dan rindu,
pada angin di setiap ruang,
di manakah cintaku telah singgah,
hingga lupa aku hampir lelah menunggunya.
Tak adakah tersisa sedikit pun rindu untukku?
~~~~~

Kaira melenggang dengan langkah gontai, meletakkan tasnya dan duduk dengan lesu di sebuah kursi taman yang mulai sepi ditinggalkan orang-orang karena rimbunnya tak mampu menampung sinar mentari yang makin memanas. Gadis cantik itu mengusap peluhnya sambil mendongak mencari jawaban. Matanya pedih menantang sinar mentari, berharap ada wajah yang dirindukannya di sana.
“Ke mana gerangan kau menghilang Prada. Surat dan emailku tak pernah lagi kau balas. Ini sudah minggu ke sepuluh kau mendiamkanku. Kau dengar Prada? Aku menghitungnya. Aku menghitung berapa lama kau diamkan semua jembatan kita untuk saling berkirim rindu. Apa kau sudah melupakan cinta kita? Apa kau sudah menemukan gadis lain?” gumamnya pada angin yang semakin berhamburan menghantar dedaunan kering.
Dimainkannya sehelai daun yang menempel di sepatunya, berharap di sana ada bayangan yang dicarinya. Kegelisahan dan mendung sangat jelas tergambar di wajahnya.
“Nunggu siapa Ka?”
Firma menghampirinya, mencoba bertanya walau pun lelaki itu sudah tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Kaira. Diambilnya tas Kaira yang tergeletak di bangku dan duduk di sebelah gadis yang diam-diam merebut hatinya itu.
“Nggak nunggu siapa-siapa. Istirahat saja, mataharinya panas banget hari ini. Menyengat.”
“Nggak nunggu yang lain?”
“Maksudnya?”
“Sikapmu tak akan bisa membohongiku. Pacarmu itu tak lagi membalas surat dan email-emailmu kan?”
Kaira menunduk. Diam.
“Sudah berapa lama?”
“Sepuluh minggu.”
“Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa dia sudah bosan dengan hubungan jarak jauh ini?”
“Aku tak mau berpikiran buruk. Mungkin dia sedang sibuk.”
“Kesibukan apa yang membuat orang melupakan sapaan rindu pada orang yang dicintainya?”
Kaira diam.
“Apa kamu tidak lelah menunggu tanpa kepastian?”
“Sedikit. Dan sebagai sahabat, berilah aku kekuatan, jangan kau bakar lagi rasa lelahku ini menjadi putus asa.”
“Akan terus kusulut sampai kamu tidak lagi mengatakan aku hanya sekedar sahabatmu. Tapi kekasihmu.”
“Aku sudah memiliki kekasih Fir. Mana mungkin aku berhubungan dengan dua orang sekaligus?”
“Tapi kenyataannya apa yang kau dapatkan?”
“Aku hanya mencoba berbaik sangka.”
“Walau melelahkan?”
“Aku juga mencoba setia Fir. Mengertilah. Aku sendiri sudah mulai lelah. Tapi apa salahnya menunggu? Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya dan aku ingin berprasangka baik saja.”
Kaira memandang Firma memohon pengertian. Lelaki di sebelahnya ini memang sangat perhatian, bahkan luar biasa perhatian padanya. Bagaimana mungkin hatinya tak dapat menengok sedikit pun pada genangan cinta di sana? Mengapa yang dipanggilnya selalu Prada yang sampai saat ini pun masih belum menyisakan kabar untuknya?
Kaira berdiri, mengajak Firma meninggalkan taman itu. Kedua insan itu berjalan menyusuri jalanan yang sudah mulai redup tersiram lampu taman yang sudah menyala di satu dua pojok. Firma berusaha membuat cerita-cerita lucu walaupun wajah Kaira tetap mendung.
~~~~~

Sepuluh minggu telah lewat dan pada minggu kesekian, setelah Kaira benar-benar merasa lelah, datanglah email yang sudah mulai tak diharapkannya lagi. Dengan hati berbinar segera dibacanya email itu.
Dear Kaira,
Maafkan aku kalau baru sekarang memberimu kabar. Sebenarnya sudah satu minggu yang lalu aku ingin membalas emailmu atau salah satu dari suratmu, tapi kesibukan membuatku tak dapat lagi menyisakan waktu untuk bertukar berita denganmu.
Kaira sayang, aku sebenarnya juga lama memendam rindu padamu, tapi apa yang bisa kulakukan dengan kondisi kita yang semakin tidak mungkin untuk menjaga kedekatan satu sama lain? Untuk itu bersama ini juga aku ingin beritahukan padamu, bahwa hubungan kita sepertinya tak mungkin lagi dilanjutkan. Aku tak ingin kita saling memendam rasa yang tak mungkin kita jaga. Kau nun jauh di sana sedangkan aku dengan berbagai macam rasa dan kegiatan. Semoga segera kau temukan pengganti diriku di sana.
Aku juga ingin beritahukan padamu bahwa sebentar lagi aku akan menikah dengan orang yang lebih mementingkan berada di dekatku dari pada memenuhi kehausannya akan ilmu. Aku berpikir kamu pasti sibuk dengan kuliah dan pekerjaanmu sehingga tidak akan bisa datang ikut menikmati kebahagiaanku. Untuk itu rasanya aku tidak perlu mengirimkan undangan kepadamu. Semoga kamu bisa mengerti keputusan yang aku ambil ini. Salam untukmu tercinta.
Prada.
Kaira tertegun memandangi layar yang masih menyala terang di depan matanya. Email yang lama ditunggunya akhirnya datang juga, tapi segera melenyapkan senyum di bibirnya dan debur rindu di hatinya. Matanya tak mau pergi dari kata dan kalimat yang menari memanggil nada pilu dari layar itu. Hatinya mencoba berjalan perlahan meresapi tulisan yang berulang kali dibacanya tapi tak juga berubah. Dicobanya untuk memahami, memberikan pengertian yang diminta dalam isi email yang sudah lama dinantinya itu. Lalu berhenti oleh ketukan di pintu kamarnya. Induk semangnya membuka pintu kamarnya tanpa bertanya, lalu senyum cerianya menghias ruangan yang hampir mati itu.
“Ka, ada Firma tuh di bawah.”
“Ya Tante, makasih, sebentar saya turun.”
Kaira merenung sebentar, memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan email itu. Lalu dibalasnya email Prada dengan kalimat singkat.
“Terima kasih Prada, kamu akhirnya mau membalas emailku, lengkap dengan berita mengenai hubungan kita. Maaf aku belum bisa menghapus cinta ini seketika, tapi jangan kawatir, cintaku ini tak akan mengganggu kehidupanmu. Aku turut bahagia untuk kebahagiaanmu.”
Kaira.
Lalu dihapusnya airmatanya dengan cepat dan segera berlari menemui Firma. Disimpannya rapat-rapat hati gundah, dilelangnya duka untuk matahari yang masih setia mengirimkan panas dan sejuknya. Apakah selanjutnya? Masih perlukah dipertanyakan rindu yang telah mengikrarkan diri tak berani berjuang untuk cinta? Kaira berpamitan pada Induk semangnya dan berjalan meninggalkan tempat kostnya diiringi Firma. Langkahnya semakin cepat menyusuri trotoar kecil menuju taman. Tak dihiraukannya Firma berlari kecil mengejar langkahnya yang semakin cepat dan akhirnya berlari. Mengejar rindunya yang telah melambaikan salam perpisahan, atau lari meninggalkan pedih yang tak ingin dirasakannya. Entahlah.
“Ka. Kamu kenapa sih?” teriak Firma.
Firma mencengkeram dan menarik lengan Kaira. Langkah keduanya segera terhenti. Firma membungkukkan badan mengatur nafasnya sebelum memulai bicara.
“Ada apa?” tanyanya masih dengan nafas tersengal.
Kaira memandang Firma sejenak, kemudian tersenyum dan melepaskan tangannya dari cengkeraman Firman.
“Aku ada usul. Gimana kalau kita lomba lari?”
Firma menarik nafasnya yang mulai teratur dalam-dalam, memandang Kaira heran. Matanya menyipit menahan sakit yang tiba-tiba menyerang dadanya. Kaira balas menatap sambil tertawa.
“Setuju?”
“Aneh,” jawab Firma sambil menatap Kaira penuh tanda tanya.
“Yuk, beli minum di warung depan tuh. Leherku kering sekali.”
“Kamu kenapa Fir?” tanya Kaira cemas.
“Kamu ini, nggak ada pemanasan, nggak ada aba-aba, tiba-tiba lari seperti orang dikejar hantu. Ada apa sih?”
Kaira tidak menjawab. Diikutinya langkah Firma menuju kedai kopi di seberang jalan sambil tetap membisu. Perasaannya lebih ringan walau email dari Raja masih terus terbaca oleh hatinya. Dilihatnya sebentar-sebentar wajah Firma yang sedikit memerah. Hatinya tersenyum melihat sahabat barunya itu. Sahabat yang selalu setia menemaninya, menghiburnya di saat dia tak bersemangat dan tetap memperhatikannya walau pun dia tahu dirinya sudah memiliki kekasih.
“Kekasihku sudah hilang,” bisiknya dalam hati. “Aku benar-benar masih mencintainya, tapi cintaku ini tak akan mengganggu kehidupannya. Aku janji. Dan aku akan berusaha melupakan lelaki itu perlahan.”
“Minum apa Ka? Kopi atau es teh manis?”
“Es jeruk saja.”
Firma memperhatikan setiap gerakan Kaira. Dilihatnya ada kesedihan yang disembunyikan dari wajahnya. Lalu ditepuknya pundak gadis itu pelan.
“Kamu ada masalah?”
Menggeleng.
“Apakah mengenai Prada?”
Menunduk.
“Dia sudah membalas emailmu Ya?” tanya Firma lagi sambil menatap Kaira yang masih membisu.
“Pasti dengan berita yang membuatmu sedih.”
Kaira mengambil es jeruk yang dipesannya, meminumnya sedikit, lalu sibuk dengan isi tasnya yang berantakan sewaktu dibawanya berlari.
“Dia memutuskan hubungan kalian?” desak Firma.
Kaira memandang sahabatnya sebentar, menghabiskan minumannya, lalu mengajak Firma berjalan berkeliling taman yang berada tak jauh dari rumah kostnya. Diceritakannya betapa dia ingin berlari jauh menghilangkan kalimat-kalimat yang dikirim Prada dari hatinya. Betapa dia ingin berlari pulang ke kampung halaman mengejar Prada dan menyudahi saja cita-citanya untuk menuntut ilmu dan membiayainya dengan bekerja. Semua ditumpahkannya bersama air matanya di pundak Firma. Dan Firma membiarkan Kaira di sana menghabiskan kesedihannya.
~~~~~

Kaira termenung di meja kerjanya. Berkecamuk berbagai macam pertanyaan dan pikiran di kepalanya, memandangi telepone genggamnya dan membaca sekali pesan yang dikirim Firma.
“Sore ini cerah kelihatannya. Hari ini kamu tidak ada jadwal kuliah kan? Pulang kantor kita jalan-jalan ya, setelah itu nonton. Aku akan jemput.”
Matanya beralih pada layar di depannya. Ditutupnya kembali email dari Prada yang masih ingin terus dibacanya.
“Untuk apa?” bisiknya dalam hati, “Dia sudah memutuskan, tak peduli betapa rinduku belum terselesaikan. Aku tak boleh menangis lagi. Langkahku masih panjang untuk sampai ke ujung.”
Lalu mengemasi barang-barangnya sambil mencoba menata kembali hatinya yang hampir tenggelam sebelum mengarungi air di pantai. Matanya menatap jauh ke dalam hatinya yang masih mengukir wajah cinta itu, namun dibisikkannya agar cinta dan rindu yang terpotong ini tak akan mengganggu cinta dan pintu yang lain. Redupnya sinar mentari menyambutnya di pojok sepi. Panasnya pernah menoreh luka pada kulit cintanya, namun redup dan hangatnya di kala mendung dan senja kembali menghangatkan hatinya yang tak ingin beku.
~~~~~

“Maafkan aku, aku lupa sedang bersamamu dan sibuk dengan diriku sendiri,” Kaira menatap sekilas Firma.
“Mengenai apa ini?”
“Lari di taman kemaren.”
“Oh, itu,” Firma tertawa sambil memandang hangat mata Kaira.
Diambilnya tangan Kaira dalam genggamannya. Ingin dikirimnya kehangatan cinta lewat tangan yang semakin dingin itu, namun harapannya tak sebesar cintanya.
“Aku tak akan pedulikan nafasku yang memang sering terganggu oleh gerakan lari dan sebagainya. Akan terus kuikuti langkah larimu sampai kau sadar, di sini ada matahari yang sedang menyinari cintamu. Simpan saja matahari yang telah menorehkan luka itu dan akan kusinari sampai luka itu mengatup.”
Kaira menarik tangannya dengan lembut. Ditatapnya Firma tanpa ragu lagi. Hatinya ingin sedikit mengintip sinar yang sedang menanti benih baru di hati yang sedang merindu.
“Aku masih terluka Fir, kau tahu itu.”
“Akan kubalut lukamu sampai sembuh.”
“Sampai kapan aku tak tahu.”
“Kau juga tak tahu kan seberapa kuat kekuatan cintaku.”
“Aku takut.”
“Kelak kau akan menyadari, matahari menorehkan luka hanyalah dari pantulannya, tapi hangatnyalah yang sedang kau nikmati.”
~~~~~
Kaira memandang teman-temannya yang sedang ramai menikmati kegembiraan. Masing-masing memberikan selamat atas kelulusan mereka. Di pojok kampus dia duduk di bawah rindang pepohonan di taman. Esok dia akan pulang ke kampung halaman, mengabarkan kegembiraan ini pada kedua orang tuanya yang telah renta dan hening dalam penantian untuk putri tercintanya. Tak dapat dibayangkannya betapa gembira kedua orang tuanya menerima kabar kelulusannya.
Namun sekelebat mendung menghampiri alis matanya yang segera berkerut. Ya, pertanyaan yang pasti akan terlontar dari kedua orang tuanya. Tentang janjinya untuk segera memperkenalkan calon menantu bagi mereka.
~~~~~

“Inikah calon suamimu Ka? Benarkah? Lalu kapan kalian akan segera mengabarkan berita gembira ini di kampung halamanmu?” sambut Ibunya dengan semangat lalu menjabat tangan Firma.
Menatapnya tak berkedip. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Ditatapnya putrinya dengan pandangan bertanya. Tapi pertanyaannya tak sempat terlontar oleh ketukan di pintu. Kaira membuka pintu dan wajahnya meregang melihat siapa yang berdiri di depannya.
“Apa kabar sayang? Maaf, aku sengaja membuat kejutan, jadi tak memberitahu dulu kalau aku mau datang.”
“Ah, silahkan masuk Parda,” sambut Kaira, mengusap sekilas keringat yang perlahan menghiasi keningnya.
Sementara Ibunya menatap mereka dengan kebingungan. Firma mendekap hatinya agar tidak berteriak ketakutan. Terbayang kesakitan yang bakal diterimanya. Tapi cintanya yang tak menuntut apapun membuatnya tetap tenang.
“Nah, ini dia nak Prada. Sejak kamu sekolah di Jakarta, dia tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya,” Ibunya beranjak mendekati Prada.
“Prada sibuk dengan tunangannya Bu. Maklum saja kalau dia tak sempat menanyakan kabar kita.”
“Ah, kamu bisa saja Ka,” sahut Prada cepat.
“Oh ya, aku juga ingin memperkenalkan calon suamiku. Kami sengaja tidak bertunangan dulu, karena menurut Firma lebih baik kalau langsung saja menikah.”
Kaira menarik tangan Firma dengan manja. Firma tak dapat mengerti situasi yang sedang dihadapinya. Diikutinya saja semua dengan senyum.
~~~~~

“Sehari sebelum aku mengajakmu ke sini, Prada mengirimkan email, isinya menyambut baik berita kelulusanku yang dia dapatkan dari Ibu. Dia mengatakan ingin memperbaiki hubungan kami. Aku tidak menjawab emailnya. Karena ingin menyampaikan langsung saja.” Kaira menjawab pertanyaan Firma sambil menundukkan kepalanya.
Firma memandangnya tak percaya, “Jadi? Cintaku diterima?”
“Aku tidak ingin pernyataan cinta Fir, tapi aku ingin dipinang.”
Firma menarik Kaira ke dalam pelukannya. Matahari bersinar lembut menyusup ke pori-pori hati, terlupakan sinarnya yang menorehkan luka.*****

Jika kau ingin menanyakannya untuk malam panjang kita,
aku mencintaimu, tapi cintaku tak akan mengganggu kehidupanmu,
hingga kita tetap dapat merangkai sepi dan rindu ke dalam alunan asa.

Kumpulan Puisi Rendra

Surat Cinta

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !


Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada


Makna sebuah titipan


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,


kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"



SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.


======
Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998




SAJAK SEBATANG LISONG

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
????????..

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
???????????

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA( itb bandung - 19 agustus 1978 )



Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!


Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Ketika Anisa Menangis

Dalam beberapa pekan, Anisa terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya yang riang ceria, beberapa pekan ini terlihat sangat murung. Berulang kali ketika kusapa, hanya jawaban-jawaban singkat yang kudapat. Entah karena ia mulai belajar meng-efektifkan bahasa atau enggan bicara banyak denganku, atau mungkin sedang dirundung banyak masalah atau mungkin kehidupan pribadinya sedang tidak nyaman, aku tak begitu tau. Bukan tugasku pula kan untuk mengetahui setiap masalah orang? Aku tak terlalu suka untuk tau masalah orang, karena biasanya, aku pun tak terlalu suka masalahku di ketahui banyak orang.Anisa ini sobat baik. Teramat baik bagiku, walau aku tak bisa mengatakan bahwa ia adalah yang terbaik. Dia adalah sobat yang belum teruji. Itu intinya. Bagiku, sobat terbaik adalah mereka yang pernah berantem, bermusuhan, bahkan saling pukul denganku, namun pada akhirnya kami bisa kembali menjadi sahabat lagi. Itulah bagiku yang terbaik, disaat hubungan sangat buruk, kami tau bahwa ini semua bisa diperbaiki. Kami akan punya sesuatu untuk selalu di ingat, bahwa tatkala kami berada pada situasi buruk sekalipun, kami akan tau bahwa hubungan kami ini telah teruji. Kami akan bisa mengatasinya.Berbeda dengan Anisa, tidak ada sesuatu yang luar biasa. Perkenalan kami dulu biasa saja, ketika ia dan pacarnya datang bersama seorang temanku yang mengantar mereka untuk menanyakan apakah di kostku masih ada kamar kosong, yang bukan kebetulan memang ada yang kosong. Rupanya, Anisa yang ingin mencari kost di tempatku, mengingat tempat kerjanya yang tak terlalu jauh dari lokasi kost yang aku huni. Sejak itulah aku mengenal mereka, anisa dan pacarnya, Anton, yang kemudian kuketahui adalah seorang karyawan di salah satu suplier kantorku bekerja. Jadi, ya kemudian aku mengenal mereka dengan baik, dan penuh sopan santun.Satu yang kurasa aneh, adalah mereka tidak tinggal bersama. Ini sesuatu yang agak aku jumpai di daerah tempat tinggalku ini. Entahlah, terkadang baru pacaran sekalipun, banyak orang telah menjadikannya sebagai alasan legal untuk tinggal serumah. Tak peduli dengan istilah buruk yang mereka sandang, yakni pasangan kumpul kebo. Tapi jangan tersenyum dulu, karena dugaanku pun tak salah, bahwa ternyata mereka, Anisa dan kekasihnya itu pun pernah berada di jalan itu, walau kini tidak lagi. Entah kenapa aku ga mau tau, dan persoalan ini pun kuketahui belakangan hari setelah hubuangan pertemanan ku dengan Anisa lebih baik.

Oya, aku belum bercerita tentang bagaimana visualisasi Anisa ini rupanya. Jika aku memandangnya dengan sangat cermat, haha, terkadang aku suka mencuri pandang padanya. Mukanya tirus, dengan hidung mbangir dan mata yang tak terlalu besar atau terlalu sipit. Alisnya pendek, tidak terlalu penuh melingkari kelopak matanya, dan selalu cerah. Proporsi tubuhnya semampai walau tak lebih tinggi dari aku. Terkadang aku suka menghayal, seandainya dia adalah kekasihku, tentulah sangat bahagia hatiku.Aku tidak akan cerita tentang khayalanku disini, dan aku tidak ingin memaparkan perasaanku terlalu jauh disini. Mohon di maklumi ya. Tapi jujur saja, setelah beberapa pekan ini melihatnya murung, aku justru mengamati dia lebih jauh. Tentu, juga dari jauh. Ada yang aneh memang, mulai jarang kulihat si Anton datang, dan kalaupun datang tidak pernah berlama lama. Ah biarlah, urusan mereka. Ini yang selalu kukatakan dalam hatiku.

***

Malam itu, seperti biasa aku chatting. Anda tau kan bagaimana asyiknya chatting di internet? Kita bisa menjadi apa saja yang kita mau, termasuk keluar dari diri sendiri. Juga menjadi makluk yang seolah-olah. Ya, seolah-olah bijaksana, seoralah-olah pinter dan terserah mau ditambahi apa. Seolah-olah seksi juga boleh.

Kini di hadapanku, sebuah layar chat room yahoo mesenger yang berisi penuh dengan nama-nama unik. Beberapa teman yang telah ada dalam daftar temanku, kebanyakan tidak online, atau beberapa yang online pun memasang status sibuk. jadi, aku tidak berhak mengusik waktu mereka.

Sebuah nama yang unik aku pilih untuk kusapa. Namanya, NL230, Sedang namaku sendiri kupasang Pemburu Cewe Mesum. Aku ga peduli apa orang akan berkomentar, yang jelas cuek aja.

Ketika kusapa si NL230 ini, responnya kurasa lambat. Ini bukan yang pertama yang seperti ini. Banyak orang telah menginterpretasikan namaku dengan beragam pikiran sebelum mengetahui bagaimana sebenarnya aku, ehm. Lama kemudian aku mendapatkan responnya.

“Maaf, aku bukan cewe mesum, aku cewe sopan”, begitu ia menjawab sapaanku.

“Ah..aku juga suka cewe sopan kok..”, jawabku singkat.

Tak ada jawaban, tak ada respon. Aku merasakan sebuah perasaan yakin bahwa anak ini bisa diajak ngobrol, mungkin karena namaku saja yang menjadikannya berfikir banyak.

“Kok diem non, sibuk ya?” Kucoba memancing dia lagi. Kutau dia cewe karena dalam status mesengernya, jenis kelaminnya female, berusia 28 tahun.

“Ga kok”, dia kembali menjawab.

“Emang sambil ngapain, kok aku di cuekin?”

“Ga ada, ga ngapa-ngapain”

“kayaknya kamu lg ga mood yah?”

“Sok tau!”

“Lahhh..pemburu cewe mesum gitu looh..”

Kembali tak ada jawaban. Kali ini cukup lama. Ah kupikir dia udah keluar atau memang tidak tertarik dengan diriku ini. Aku pun menutup jendela chat dengan nya, kulanjutkan aktifitasku yang lain, browsing website favoritku yang lain. Beberapa website yang sering dan rutin aku kunjungi adalah www.liverpoolfc.tv, www.bluefame.com dan www.google.com dan beberapa yang lain.

Mesenger ku masih aktif, dan ditengah aku sibuk klik sana-sini, tiba tiba sebuah jendela chat terbuka, si NL230 ini muncul lagi.

“Sorry tadi DC”, kalimatnya pendek.

“Gpp, aku masih online kok,” jawabku singkat.

“Sibuk ya?”, kali ini dia yang bertanya.

“Ga juga, lagi browsing ajah..”

“Web-web porno pasti ya?”

“enak aja, ni lg baca berita liverpool, tau kan liverpool?”

“kamu fans liverpool?”

“iya, mang napa?”

“gpp, ada temenku juga se yang demen banget sama liverpool..”

“ooo begitu?”

“iya. Trus aku ganggu donk?”

“Ya enggak lah sayang…untuk kamu ngga deh,” Haha, aku mulai membual, dan memancing reaksi dia dengan kata “sayang”.

“ih sayang sayang, sapa elo?”

“Aku? kan dah bilang…pemburu cewe mesum..”

“ih..”

“Kamu kayaknya lagi ga mood ya?”

“He eh…”

“kenapa?”

Lagi lagi tak ada jawaban. Dan ini menjengkelkan buat aku. Sampai lama kemudian dia menjawab lagi,

“Kamu pernah selingkuh ga?”

“whatttttttt?”

“ih norak deh, pake kaget gitu”

“Ga si kaget, tapi terkejut aja. Tadi katanya cewe sopan, kok nanyanya soal selingkuh?”

“mau jawab ga..?”

“aku sering selingkuh. Sama cewe orang hehe, tapi tidak dengan istri orang atau cewe temen..”

“knapa tu?”

“Ya klo istri orang kan dosanya bejibun ya, klo cewenya temen aku jadi pengkhianat temen donk..ogah ah”

“oo gitu tho”

“Iya loh! tapi kenapa kamu nanya itu? Pengen selingkuh yah?”

“iyah..”

Jawaban yang mengejutkan buat aku. Tumben-tumbennya aku ketemu cewe yang berniat selingkuh. Biasanya dalam chat sering aku yang menggoda untuk ngajak selingkuh, atau aku menggoda untuk menyelingkuhinya.

“Emang ada apa dengan kamu, sampe berfikir kayak gitu?” sedikit kalem aku bertanya.

“ada dehhh..”

“yee niat ga se selingkuh? Cerita ga usah nanggung nanggung napa. Cerita atau tidak sama sekali!”

“ih sewot….klo aku cerita jadi curhat donk…”

“knapa ngga, toh kamu ga tau aku, aku ga tau kamu…apa bedanya..”

“iya juga yah..”

“truss..mau cerita ga?”

“mmm..mulai dari mana yah..”

“dari awal kalo bisa..”

“mm… cowokku selingkuh. Padahal aku dah kasih semuanya ke dia…”

“Yang runut donk kalo cerita..”

“iya iya, bawel! Gini, dulu aku ma cowokku tinggal bareng…”

“kumpul kebo?”

“ih..aku ga cerita ni…”

“iya deh iya..lanjut..”

“Dulu, ampir tiga taunan aku tinggal sama dia. Kami belum nikah. Aku sayang banget sama dia. Aku juga tau dia sayang banget sama aku. Awal awalnya dulu, kami harmonis banget. Kayak suami istri gitu. Aku ga peduliin kenyataan bahwa status kami ga legal. Kupikir dia itu lelaki terbaik untuk aku. Bisa mengerti aku, bisa nasehatin aku, bisa memberi nafkah lahir batin, pokoknya perfect banget dah..”

“trus..?”

“trus belakangan aku tau dia ga begitu sama aku…”

“ga begitu gimana?”

“dia punya selingkuhan…bisa bayangin ga si…aku dah kasih semuanya ehh dia gitu. dasar lelaki!”

“eh eh..aku juga lelaki looh..”

“bodo! emang cowok tu gitu!”

“hhh…”

“lanjutin ga ni?”

“iya..lanjut..trus gimana?”

“masa aku dah kasih perawanku, aku dah setia, eh dia selingkuh. Aku jengkel banget. Trus aku minta putus, tapi dia ga mau. Dia memohon mohon agar kami ga putus. Dia janji ga ngulangin perbuatannya. Tapi makin kesini aku makin susah percaya. Trus kami ngobrol. Panjang banget, sampe kami ambil kesimpulan untuk pisah ranjang. Ga putus seratus persen, tapi aku kemudian pindah kost..”

“haaaaaaaa? keputusan yang aneh!”

“kok aneh?”

“iya lah aneh. Kalo udah gitu, dalam pikiranku ya, baiknya kalian nikah saja atau pisah sekalian. Selingkuh itu enak tau…dia akan ngulang!”

“Yah..aku ga tau deh, aku sayang banget sama dia..”

“kamu cinta buta”

“biarin…”

“kamu lemah!”

“biarin…”

“trus mau kamu gimana?”

“Ga tau ya,…beberapa hari ini aku malah berfikir sebaliknya…aku pengen membalas”

“selingkuh juga?”

“iyah..”

“serem deh..”

“serem gimana?”

“kalo dia selingkuh, trus kamu membalas selingkuh, gimana jadinya dunia? Coba bayangin, elo selingkuh, katakanlah sama cowonya cewe lain, trus si cewe lain itu membalas selingkuh lagi..begitu terus..apa jadinya dunia? Penuh dengan perselingkuhan!”

“lah..ga segitunya kaliii..”

“ya..bisa begitu deeeeeeee”

“lha kamu sendiri? tadi katanya suka selingkuh?”

“itu kan aku, kamu ga usah ikut ikut”

“lelaki..egois”

“memang..btw, kamu serius dengan niat kamu?”

“iyah..”

“dah ada target?”

“ada temen satu kost..”

“lha kok deket gitu, ga aman looh..”

“biarin..aku suka dia..”

“terserah siy, trus dah mulai?”

“belum…”

“knapa? katanya mau selingkuh…”

“targetku kayaknya ga suka aku…”

“mana ada cowo ga suka cewe…pa lagi klo diajak seneng seneng…”

“tau lah…dia tu kalem banget, tapi seksi deh…rajin olahraga dan seger banget..trus kayaknya dia dah tau kalo aku dulu kumpul sama cowokku, mana mau dia ama aku ini yang bikin aku kuatir”

“hahaha…segitunya…katanya cuma selingkuh, kok jauh gitu mikirnya? ntar lo jatuh cinta ma dia looh…”

“udah tauk! aku dah jatuh cinta sama dia..”

“nahhh….tu dah nyambung..”

“aku ga tau gimana memulainya…”

“bodoh..pura pura aja minta tolong..atau minta apa kek dari dia..trus makin akrab, makin deket…selingkuh deh..”

“tapi jujur aja aku ga mau kalo cuma selingkuh…”

“ha? kamu itu gimana seee, katanya mau selingkuh..trus ga mau cuma selingkuh..trus mau kamu gimana?”

“aku mau memiliki dia…aku suka banget..sama dia..kan dah bilang, aku jatuh cinta..aku udah mau putusin cowokku.. hubungan kami dah ga bisa dipertahankan”

“apa yang buat kamu jatuh cinta?”

“banyak..banyak banget..”

“misalnya..”

“karakter dia, bengalnya dia, seksi deh…aku suka..”

“ehmm..”

“kok ehmm?”

“Gpp..kayak de ja vuu aja tiba tiba..”

“oya?”

“iyah..kayaknya pernah ketemu karakter kayak kamu..mungkin di kehidupanku yang dulu kali…btw kamu dimana? trus nama kamu sapa? dari tadi aku belum tau..”

Dia menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang nyaris telah kuduga. NL230 adalah Anisa, yah aku menduga begitu, aku yakin itu. Agak nervous juga jadinya, karena ternyata dunia sempit buatku. Apakah cowo yang dia maksud itu aku? Ah, GR aku jadinya.

“Kok gantian kamu yang diem..?” dia bertanya, membuyarkan lamunanku.

“Gpp,…eh non, aku mau off ni, kamu aku add dulu ya di list aku, lain kali kita ngobrol lagi..gimana?”

“ok..”jawabnya singkat.

***

Sesaat kemudian aku selesaikan semua aktifitasku di warnet itu. Lalu kuputuskan untuk pulang. Dalam pikiranku, berkecamuk banyak hal, yang tiba tiba hilir mudik tak karuan. Tentang Anisa, tentang perselingkuhan, tentang hidupku sendiri. Selama ini aku menikmati dunia yang serba sudah jadi! Yah, kalo bisa beli sate kambing dengan berbagai rasa, kenapa juga musti memelihara kambing yang bau prengus?

Ah, tapi sungguh, pikiranku melayang layang, kepada satu sosok yang sangat aku suka: Anisa. Aku berjalan kaki menuju kost ku, yang jaraknya memang tak jauh dari warnet tadi. Pikiranku terus menerawang. Aku berjalan sambil ngelamun, juga sambil mengisap marlboro merahku.

Sesaat setelah aku masuk gerbang kost ku, kulihat suasana sepi. Kamar kamar sudah mematikan lampu. Aku duduk di salah satu kursi yang ada ditaman kost ku. Pikiranku masih melayang-layang, sampai aku dengar sebuah sepeda motor mendekat, lalu kemudian menghilang. Di gerbang kulihat Anisa baru pulang. Rupanya motor tadi adalah motor tukang ojek yang mengantarnya pulang.

Makin dia berjalan mendekat, makin berdebar hatiku. Ada sesuatu yang harus di tuntaskan malam ini. Begitu Anisa mendekat, aku sapa dia,

“Nis, baru pulang?”

“eh… Le, blum tidur?”

“Blum..ga bisa tidur..aku juga baru pulang..blom juga masuk kamar ni…duduk sini donk..,” aku menawarkan dia untuk bergabung duduk bersamaku.

Anisa mendekat, tapi tidak segera duduk. Ia memandangku terus. Aku lalu berdiri, membalas tatapannya.

“Aku tau itu kamu..”lirih dia berkata.

“Aku juga tau itu kamu.”jawabku pelan.

Anisa mematung, sepenggal langkah di depanku. Tatapan matanya kepadaku berubah perlahan. Makin sayu, makin lembut. Sedikit berkaca kaca. Suasana hening sesaat. Sebentar ia menundukkan kepala. Sebentar dia berpaling. Kurasa, bahkan angin pun mendadak berhenti.

Aku terus membalas tatapannya, kurasa ada suasana saling sapa, saling rindu dalam tatapan kami. Matanya terus berkaca-kaca. Parasnya sungguh ayu dimataku. Air mata perlahan mengalir di matanya. Kedua tanganya saling beremas, membahasakan sebuah kegelisahan dihatinya. Ia terus menatapku, seolah mata itu bicara..akankah kamu menerimaku?

Perlahan, tanganku menggapai tangannya, kugenggam dan kuremas perlahan. Lalu kutarik dia kedalam pelukanku. Anisa memelukku erat, sesegukan dan menangis.

“Le…aku sayang kamu….aku mencintai kamu,”lirih diantara segukan tangisnya.
Pelukanku makin erat, pelukan kami makin erat. Kami, makin erat berpelukan.

Ketika Kepercayaan Dipertanyakan

Part 1

“La… Aku sayang kamu. Aku peduli sama kamu. Sekelam apa pun masa lalu kamu, bagi aku kamu tetap bidadari dalam hidupku. Jangan pernah lagi ngomong kalo kamu ga pantas buat aku!” Aku terseguk dalam pelukan Abdul yang kian erat. Abdulku. Laki-laki yang kukagumi. Cintanya begitu dalam kurasakan. Tapi apakah aku pantas mendapatkannya? Dia laki-laki yang bisa menjaga dirinya dengan cukup baik, sedang aku?

Terkenang hari-hari di masa kecil dulu. Saat keluargaku harus tinggal dan bekerja di sebuah rumah minum. Dimana rumah itu dipenuhi para pemabuk, juga para pelacur. Ayah hanyalah seorang satpam di sebuah perusahaan. Dan ibuku… Beliau adalah kasir di rumah minum itu. Karena ibu bekerja di situlah, maka keluarga kami diberi dua kamar gratis di salah satu bagian rumah. Sebagai akibatnya, ibu tidak menerima gaji sepeser pun dari si pemilik.

Rumah minum itu cukup luas. Terdiri dari satu rumah utama yang bertingkat. Memiliki beberapa kamar yang tentunya kalian tau akan digunakan untuk apa. Teras luas di bagian depan dan di tingkat dua. Bar di ruang utama. Dan tigabelas pondok kecil terbuka yang mengelilingi rumah utama. Di dekatnya ada sebuah danau. Aku suka memancing dan angon itik di sana. Kadang-kadang juga suka hunting telor itik yang berceceran di mana-mana. Tau sajalah gimana kelakuan para itik itu. Ah iya, ada juga pondok-pondok yang untuk menuju ke sana harus melewati labirin tanaman dulu. Sepertinya masa laluku indah ya? Benarkah?

Dulu, kami juga pernah tinggal di gudang kantor tempat ayah bekerja. Bersama roll roda alat berat yang penuh oli. Bersama tikus-tikus. Kami tinggal bersama di ruangan tanpa jendela seluas tiga kali lima belas meter. Karena itulah maka ayah dan ibu bersedia saat ditawari untuk memegang rumah minum itu. Hanya agar anak-anaknya bisa merasakan rumah yang lebih layak. Layakkah? Baca entri selengkapnya »

Puisi Cinta Kahlil Gibran

“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini… pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang”

“Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai… Dan, apa yang kucintai kini… akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai… dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya”

“Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku… sebengis kematian… Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara…, di dalam pikiran malam. Hari ini… aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan… sekecup ciuman”

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…”

“…pabila cinta memanggilmu… ikutilah dia walau jalannya berliku-liku… Dan, pabila sayapnya merangkummu… pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu…”

“…kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang”

“Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta… terus hidup… sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan…”

“Jangan menangis, Kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah… kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan”